Abdul Malik*

AM-pictureOPEN HOUSE jelas berasal dari bahasa Inggris. Ungkapan itu mengacu kepada ‘kebiasaan membuka (pintu) rumah setahun sekali pada Hari Raya Idulfitri—umumnya pada hari pertama—dengan maksud untuk menerima tamu dan atau bersilaturrahim dengan bawahan dan masyarakat’. Karena berhubung dengan upaya membuka (pintu) rumah bagi segala kalangan, ungkapan itu biasa juga diganti dengan pungutan terjemahan dalam bahasa kita yakni Rumah Terbuka supaya tak terkesan kebarat-baratan atau keinggris-inggrisan. Walaupun begitu, ungkapan dalam bahasa Inggris nampaknya lebih digemari seperti yang banyak kita lihat, dengar, dan baca di media massa: cetak dan elektronik. Pendek kata, kebiasaan melaksanakan acara Open House atau Rumah Terbuka telah menggejala saban tahun dan telah berlangsung cukup lama juga di negara yang kita cintai ini.

Walau menggunakan ungkapan bahasa asing (Inggris), kebiasaan dan kegiataannya sendiri khas nusantara yang berpenduduk kebanyakannya muslim, khususnya Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Di Singapura diadakan juga acara Open House pada hari-hari besar dan Hari Raya setiap umat beragama di negara jiran itu, tetapi wataknya agak berbeda dengan di negara kita karena pengunjung yang bukan warga negara Singapura dikenakan biaya masuk (Duh, ada-ada saja upaya orang untuk mencari duit, bahkan pada hari besar pun!). Di negara kita menghadiri acara Open House gratis saja alias tak perlu bayar, kecuali diperlukan biaya untuk membeli bahan bakar minyak (BBM) bagi yang menggunakan kendaraan bermotor.

Akan tetapi, kalau acaranya memang diorganisasikan sedemikian rupa supaya terkesan Open House-nya dihadiri oleh banyak orang sebagai indeks (petunjuk) pelaksananya disukai, disayangi, dan dicintai oleh rakyat atau masyarakatnya, BBM pun akan diperoleh secara gratis pula, yang memang telah disediakan oleh suatu panitia yang ditunjuk. Variasinya boleh berupa disediakan dana pengganti bagi yang naik angkutan umum atau memang disediakan angkutan, darat atau laut, untuk menghadiri acara penting itu. Di tempat acara disediakan pelbagai juadah, makanan, dan minuman beraneka jenis, termasuk yang belum pernah kita nikmati di rumah sendiri, yang boleh dinikmati sepuas-puasnya juga secara gratis. Bahkan, pulang dari acara Open House pun masih mungkin mendapat rezeki lain, sedekah-kah, angpao-kah, atau apa sajalah namanya (bagi-bagi sekaligus pamer kemakmuran dan kesejahteraan setahun sekali!). Maklumlah, yang melaksanakan acara ini bukan orang sebarang atau sebarang orang, melainkan mereka yang paling beruntung dilahirkan dan dibesarkan di “Tanah Air Beta” ini. Memang banyak “bahagia”-nya ber-Open House di negara kita. Kebahagiaan itu kian memuncak jika Open House-nya diselenggarakan bersamaan dengan mendekati pemilihan umum dan atau pemilihan kepala daerah.

Siapakah pencipta kebiasaan Open House pada Hari Raya Idulfitri di negara kita? Jawabnya, jelas bukan rakyat atau masyarakat biasa. Rakyat atau masyarakat biasa memang biasa membuka (pintu dan tingkap) rumah selebar-lebarnya saban hari di rumah masing-masing. Rutinitas itu dilakukan sejak awal pagi (subuh) sampailah menjelang magrib (terbenam matahari). Selain sebagai petunjuk siap menerima tamu sesiapa saja tanpa memandang tahta dan harta—yang juga dikaitkan dengan keyakinan silaturrahim akan membuka pintu rezeki dan memanjangkan umur—dalam tradisi masyarakat kita kebiasaan itu sebagai simbol mengundang rezeki agar leluasa masuk ke rumah. Selain itu, rumah yang mendapat sinar matahari yang cukup memungkinkan penghuninya terhindar dari sebarang penyakit. Bahkan, ada kepercayaan membuka pintu dan tingkap rumah selebar-lebarnya sebagai simbol mengundang malaikat sebanyak-banyaknya untuk masuk ke rumah tersebut sekaligus ikut menjaganya. Hal itu tak pula berarti lalu rumah dibiarkan begitu saja tanpa pengawasan sehingga mengundang sebarang kejadian yang tak diingini dapat terjadi, pencurian misalnya.

Pada Hari Raya apa lagi. Selain dikaitkan dengan kebiasaan dan kepercayaan yang telah disebutkan itu, membuka semua pintu dan tingkap rumah selebar-lebarnya pada hari yang mulia itu dilakukan oleh masyarakat untuk menunjukkan kegembiraan, kenikmatan, dan kebahagiaan yang tiada bertara karena baru saja selesai menunaikan ibadah puasa Ramadan sekaligus menyambut Hari Raya Idulfitri dengan rasa syukur yang mendalam kepada Allah s.w.t. atas segala rahmat, nikmat, dan inayat yang telah dicurahkan-Nya selama ini, yang salah satu puncaknya diberikan dalam bentuk Hari Raya Idulfitri (Hari Raya Kecil), selain Hari Raya Iduladha (Hari Raya Besar). Bersamaan dengan itu, dikenakanlah pakaian serbabaru dan disediakan juadah, makanan, dan minuman yang agak khas sesuai dengan kemampuan masing-masing. Ringkas bicara, cara masyarakat membuka (pintu dan tingkap) rumah pada Hari Raya jauh berbeda dengan yang dimaksudkan kebiasaan Open House. Jadi, kebiasaan dan ungkapan Open House bukanlah ciptaan rakyat atau masyarakat.

Kebiasaan Open House hanya menjadikan masyarakat sebagai pelengkap penyerta saja. Itu secara tersirat merupakan upaya pengukuhan mitos atau penguatan status bahwa “penguasa memegang kendali atas bawahan dan rakyat”, disengaja ataupun tidak. Nah, pencipta ungkapan dan kebiasaan Open House tak lain tak bukan ya pemegang otoritas, penguasa, atau pejabat peringkat atas, baik pemerintah maupun swasta, yang dalam konteks Indonesia di pusat (Jakarta) dan di daerah-daerah sesuai dengan peringkat wilayah kekuasaannya. Di kalangan swasta pula fenomenanya terjadi sesuai dengan kekuasaan di kerajaan bisnisnya masing-masing.

Ungkapan Open House yang menggunakan bahasa Inggris, yang dikenal sebagai bahasa bangsa modern dan bahasa masyarakat global, jelas mengacu kepada simbol status ‘tinggi, prestise, bergengsi, modern, dan bukan kebanyakan’. Memang ada penulis dan peneliti Barat yang menyimpulkan bahwa pemakaian bahasa asing dalam konteks bahasa dan budaya Melayu dan Indonesia tak semata-mata bertujuan pembedaan status sosial (Pernyataannya ini pun “ada udang di sebalik batu”). Namun, dalam konteks merayakan Idulfitri kesan yang ditimbulkannya sangat ketara “pemerlain status” itu, sekali lagi disengaja ataupun tidak.

Ditinjau dari sudut budaya kita dan hakikat merayakan Idulfitri, kebiasaan Open House itu rasanya “tak terlalu mengena dan tak terlalu mengenakkan”. Karena apa? Budaya kita menjunjung tinggi kesederhanaan dan kebersamaan. Pesan Idulfitri dalam agama Islam pun menyarankan kesederhanaan, kebersamaan, dan kepekaan sosial kepada saudara-saudara kita yang kurang beruntung walaupun sama-sama dilahirkan, dibesarkan, dan hidup di “Tanah Air Beta” jua.

Pelaksana Open House mungkin dapat menyamarkan “pamer kemegahan” itu dengan tampilan luar kesederhanaan: juadah yang sederhana, perabot rumah yang sederhana, dan pakaian yang sederhana. Akan tetapi, makna ungkapan ‘sederhana’ itu jauh berbeda dengan sederhana sesungguhnya di kalangan masyarakat, itu satu. Di samping itu, kebiasaan atau gaya hidup yang ditunjukkan dengan pelaksanaan acara itu lebih-lebih sangat berbau feodalisme, yang padahal konon katanya ingin menunjukkan kualitas modern (lihat ungkapan bahasa Inggris yang digunakan itu), berpikiran maju, dan merakyat, yang ini dua dan paling mustahak. Jadi, ada kontradiksi di sini: di satu sisi hendak meninggalkan kebiasaan lama yang dinilai ketinggalan zaman (dianggap feodalisme) dan di sisi lain tetap mempertahankannya dalam berpikir, bersikap, dan bertindak. Barangkali feodalisme itu memang sedap bau dan rasanya sehingga amat sulit untuk dijauhkan, apa lagi ditinggalkan.

Sebagai bentuk eufemisme (penghalusan) yang lain dibungkuslah Open House itu dengan matlamat bersilaturrahim, konon. Itu terkesan baiklah di luar, kulit atau bungkusnya. Malangnya, bungkusnya itu kurang tepat, kalau tak sanggup dikatakan tak tepat sama sekali. Karena apa? Karena, praktik bersilaturrahim itu lazimnya pelakunya (subjek) yang berkunjung ke tempat orang yang menjadi tujuannya bersilaturrahim itu (objek). Si Atan, misalnya, hendak bersilaturrahim kepada masyarakat di lingkungan rukun warga (RW)-nya. Mestinya, Si Atan-lah yang berjalan berkeliling ke rumah-rumah masyarakat se-RW-nya. Ini malah terbalik kod, Si Atan mengundang masyarakat se-RW-nya untuk berkunjung ke “istana”-nya, baik secara terbuka melalui media massa, melalui berita atau iklan, maupun dengan surat jemputan. Apakah tak terbalik arah namanya itu? Dalam hal ini, pemimpin negara monarki (sultankah, rajakah, ratukah, temenggungkah, atau amirkah sebutannya, jabatan ini dikenal dalam sistem feodalisme) yang berkunjung ke kampung-kampung rakyatnya sampai yang terjauh jauh lebih maju, modern, dan demokratis daripada pemimpin, yang katanya, di negara yang menganut faham demokrasi, tetapi meminta rakyatnya menghadapnya di “istana”-nya walaupun dibungkus dengan balutan emas silaturrahim.

Inilah yang seyogianya dilakukan. Jika seseorang pemimpin berniat hendak bersilaturrahim kepada bawahan, masyarakat, atau rakyatnya; sepatutnya dialah yang berkunjung kepada “orang-orang yang di bawah” stratanya itu. Pelaksanaannya boleh di kampung-kampung yang representatif terpilih, bahkan sebaiknya yang paling tertinggal (karena memang ditinggalkan), terpinggir (karena cenderung dipinggirkan), dan atau terluar, terutama yang berbatasan dengan negara luar. Pilihan lainnya, pelaksanaannya dipusatkan di tempat-tempat kaum duafa, panti-panti asuhan, masyarakat yang baru ditimpa musibah atau bencana, dan sejenisnya.

Dengan kebiasaan baik seperti itu, bawahan, masyarakat, atau rakyat yang akrab dengan derita dan nestapa itu akan berbahagia pada Hari Raya karena dikunjungi oleh pemimpin yang berbagi bahagia dengan mereka. Pemimpin dan rombongannya yang umumnya “orang beruntung” itu mungkin dapat mengulurkan bantuan untuk mengurangkan penderitaan masyarakat, ada pula yang mengambil anak angkat atau anak asuh dari kalangan masyarakat yang kurang atau tak beruntung itu, dan pelbagai jenis kebajikan yang memungkinkan pelakunya menjangkau surga Allah.

Lebih dari itu, pemimpin yang bersilaturrahim kepada bawahan, masyarakat, dan atau rakyatnya itu dapat secara langsung meminta maaf kepada masyarakat atas segala kesalahannya dalam memimpin mereka selama ini, sama ada disengaja ataupun tidak. Saya jadi teringat isi ceramah seorang ustads. Karena seorang pengendara sepeda motor mengalami naas di jalan raya akibat dari jalan yang dilaluinya berlubang, orang pertama yang dimintai pertanggungjawaban atas kecelakaan itu oleh Tuhan bukanlah si pengendara, melainkan sang pemimpin. Pasal apa? Pasalnya, dia tak berhasil membangun jalan yang layak-jalan ketika memimpin. Mestinya, kalau dia memang tak mampu membangun jalan yang baik karena kekurangan anggaran, untuk mengelakkan terjadinya naas, dia harus membuat peraturan bahwa sepeda motor dan sejenisnya tak boleh melintas atau berjalan di jalan itu.

Nah, kita dapat mengiaskan itu dengan ketertinggalan, keterpinggiran, atau apa pun bentuk kepincangan pembangunan yang berdampak negatif kepada masyarakat. Begitu pula kalau ada masyarakat perbatasan terluar justeru lebih memuja negara dan masyarakat negara jiran yang bertetangga dekat dan sering membantu mereka dalam kesusahan, termasuk pada Idulfitri yang mulia, kesalahan utama dan pertamanya terletak pada pemimpinnya. Begitulah beratnya tanggung jawab kepemimpinan di hadapan Allah kelak. Oleh sebab itu, sangat bijaksana jika pemimpin yang bersilaturrahim ke masyarakat sekaligus meminta maaf, bukan sebaliknya, bahkan dengan embel-embel Open House segala. Bukankah kesalahan kepada sesama manusia hanya manusia yang terkena sasaran kesalahan itu yang dapat memaafkannya? Bahkan, Tuhan pun tak akan mencampuri urusan itu, kecuali Dia Yang Maha Pengampun hanya mengabulkan permohonan ampun atas dosa manusia terhadap-Nya.

Tentulah para pemimpin sangat dihargai, dan memang sepatutnyalah demikian, jika menerima tamu sebanyak-banyaknya di rumahnya pada Hari Raya nan fitri ini. Semua muslim yang lain juga begitu. Namun, kesemuanya seyogianya dilakukan secara alamiah (apa adanya) saja tanpa pembatasan waktu dan hari seperti yang dilakukan setiap muslim yang lain juga. Jadi, format dan kebiasaannya tak perlulah dikemas dalam konsep, bentuk, dan gaya Open House. Biarkanlah Idulfitri menjadi saksi bahwa cahaya kepemimpinan memang memancarkan sinarnya yang sejati. Sederhana adalah sikap dan pakaian hidup kita, jati diri bangsa kita yang agung.

Akhirulkalam, bersempena hari yang mulia ini saya dan keluarga mengucapkan “Minal aidin walfaizin, mohon maaf zahir dan batin. Selamat Hari Raya Idulfitri 1434 H. bersamaan dengan 2013 M. Semoga ibadah-ibadah Ramadan kita diterima Allah sehingga kita benar-benar kembali fitri pada Hari Raya ini sampai bertemu Ramadan kembali.@

 

Catatan:

Dimuat juga dalam “Kolom Budaya,” Batam Pos, Ahad, 18 Agustus 2013.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini