Membongkar Mitos: Mangrove, Martabat, dan Harapan Baru di Pesisir Tanjungpinang

You are currently viewing Membongkar Mitos: Mangrove, Martabat, dan Harapan Baru di Pesisir Tanjungpinang

Oleh: Henky Irawan, S.Pi, MP, M.Sc


Di desa-desa pesisir dekat Tanjung Pinang, Pulau Bintan, seringkali ada asumsi yang mengakar: masyarakat desa mungkin tidak sepenuhnya memahami, apalagi peduli, terhadap lingkungan alam mereka. Namun, sebuah penelitian terbaru di wilayah yang memiliki sejarah panjang, Senggarang membuktikan bahwa anggapan ini keliru. Jauh dari ketidakpedulian, survei kami mengungkap kesadaran mendalam masyarakat akan pentingnya hutan mangrove bagi kesejahteraan spiritual dan ekonomi mereka, serta kesiapan 100% untuk terlibat dalam pelestariannya.

Tak hanya itu, penelitian ini juga menyoroti satu pilar penting lain dalam hidup mereka: sanitasi yang bermartabat. Temuan kami menunjukkan bahwa akses terhadap sanitasi yang layak adalah kunci bagi harga diri dan kesejahteraan, sebuah fakta yang menuntut perhatian serius dari para pembuat kebijakan untuk menjadikannya prioritas nasional utama.


Ketika Dua Dunia Bertemu: Proyek Perintis di Senggarang

Pada awal tahun 2025, sebuah inisiatif kolaboratif yang menggabungkan kekuatan dari Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH), mitra pembangunan Witteveen + Bos, dan inovator sosial Safe Water Gardens/LooLa Adventure Resort, mulai menyusuri perairan dan daratan Senggarang. Didukung oleh Magnuson Trust, sebuah organisasi filantropis di Singapura, proyek ini bertekad untuk menjembatani jurang antara kebutuhan sanitasi dasar dan upaya konservasi lingkungan yang lebih besar.

Tantangan utama di Senggarang, seperti yang disampaikan oleh Lurah setempat, adalah buruknya kondisi sanitasi. Banyak keluarga pesisir masih melakukan Buang Air Besar Sembarangan (BABS), sebuah praktik yang tidak hanya mengancam kesehatan masyarakat tetapi juga ekosistem laut yang rapuh. Agar upaya rehabilitasi hutan mangrove di sekitarnya dapat berjalan efektif, diputuskan untuk mengatasi masalah sanitasi terlebih dahulu. Fokus proyek kemudian diarahkan pada dua area spesifik: Senggarang Besar dan Tanjung Sebauk, dengan target ambisius untuk menjadikan keduanya Bebas Buang Air Besar Sembarangan (ODF).

Pada bulan Januari 2025, sebuah survei sensus menyeluruh mengungkap gambaran yang jelas: dari 192 rumah tangga di kedua wilayah (100 di Tanjung Sebauk, 92 di Senggarang Besar), sebanyak 93 keluarga – hampir 50% – masih melakukan BABS, dengan mayoritas tinggal di rumah-rumah panggung di atas air. Namun, hanya dalam waktu dua bulan, melalui program pelatihan intensif oleh tim Safe Water Gardens yang memberdayakan masyarakat untuk membangun dan memasang fasilitas sanitasi, sebuah transformasi terjadi. Pada 25 Maret 2025, dengan sukacita dan kebanggaan, kawasan ini secara resmi dideklarasikan sebagai ODF dalam sebuah upacara yang sederhana namun penuh makna.


Mangrove di Mata Mereka: Harta yang Tak Ternilai

Antara Januari dan Maret 2025, di tengah hiruk pikuk pembangunan sanitasi, tim peneliti juga melakukan survei mendalam terhadap 144 keluarga (mencakup 75% dari total rumah tangga) untuk mengukur sikap mereka terhadap hutan mangrove dan kesejahteraan secara keseluruhan. Hasilnya, yang secara statistik sangat andal, mengungkapkan perspektif yang mungkin mengejutkan banyak pihak.

Ketika disodorkan pertanyaan yang sering dianggap penting dalam konteks ilmiah internasional—seperti “Apakah hutan mangrove memiliki makna budaya; apakah ada cerita atau mitos khusus; apakah ada upacara di sekitarnya?”—semua 144 responden dengan tegas menjawab “Tidak”. Ini mungkin mengindikasikan perbedaan dalam cara masyarakat lokal mengartikulasikan nilai-nilai budaya mereka.

Namun, ketika pertanyaan diubah menjadi sesuatu yang lebih personal dan mudah dipahami secara emosional—”Apakah penting bagi Anda agar kami menjaga hutan mangrove, juga untuk anak-anak Anda?”—jawabannya adalah ya yang luar biasa dari 95% responden! Ini menunjukkan bahwa meskipun narasi budaya formal mungkin tidak ada, ikatan emosional dan praktis mereka dengan mangrove sangat kuat.

Lebih lanjut, pemahaman mereka tentang manfaat ekologis dan ekonomis mangrove hampir universal:

  • 97% memahami bahwa mangrove sangat penting untuk penangkapan ikan.
  • 100% menganggap mangrove vital untuk perlindungan terhadap erosi pesisir.
  • 98% percaya bahwa hutan mangrove sangat penting bagi vitalitas ekonomi masyarakat dan bahwa kerusakan hutan akan langsung memengaruhi pendapatan mereka.
  • 99% setuju bahwa hutan mangrove kaya akan hewan laut yang mereka suka konsumsi, dan 97% menyatakan bahwa di sekitar hutan mangrove, ada lebih banyak kehidupan laut seperti ikan.

Komitmen mereka terhadap konservasi juga tak tergoyahkan: 99% menentang penebangan pohon mangrove, bahkan jika pohon itu mengganggu kehidupan pribadi mereka. Dan minat mereka untuk berpartisipasi aktif sangat tinggi: 99% tertarik untuk menghasilkan uang dari kegiatan ekowisata terkait mangrove, dan 99% juga tertarik untuk membantu menanam dan merawat hutan mangrove baru. Menariknya, mereka lebih suka aksi nyata daripada sekadar mendengarkan sesi informasi (62% tertarik mendengarkan, 38% tidak).

Bahkan laporan adanya buaya di hutan mangrove oleh 6% responden tidak mengurangi kecintaan dan kesediaan mereka untuk menjaga ekosistem ini. Ini adalah bukti nyata bahwa masyarakat desa di Senggarang tidak hanya menyadari, tetapi juga sangat peduli dan siap untuk menjadi garda terdepan dalam pelestarian lingkungan alam mereka.


Sanitasi: Fondasi Martabat dan Kebahagiaan

Lebih dari sekadar lingkungan, survei ini juga menggali dimensi kesejahteraan pribadi. Angka-angka yang muncul cukup mencolok: kurang dari 50% keluarga merasa dihormati, dengan 33% merasa tidak dihormati oleh masyarakat, dan 22% merasa hanya sedikit dihormati. Pola serupa terlihat dalam hal kepercayaan diri untuk mengundang tamu ke rumah: 33% merasa rumah mereka tidak cocok untuk menerima tamu, dan 22% merasa “agak malu” meskipun mereka bisa menerima tamu.

Namun, di sinilah terungkap hubungan yang paling krusial. Sejalan dengan survei sebelumnya yang dilakukan UMRAH bersama Safe Water Gardens, penelitian ini dengan pasti menunjukkan hubungan langsung antara harga diri dan akses terhadap fasilitas Air, Sanitasi, dan Kebersihan (WASH) yang bermartabat. Fakta yang paling menyoroti adalah ini: 100% responden melaporkan bahwa jika mereka memiliki kamar mandi dengan ubin keramik, mereka akan merasa senang dan bangga menerima pengunjung!

Ini adalah pengingat yang kuat bahwa sanitasi bukan hanya masalah kesehatan publik, tetapi juga fondasi bagi harga diri, kenyamanan sosial, dan martabat manusia.


Sebuah Seruan untuk Aksi

Penelitian di Senggarang ini, yang dipimpin oleh UMRAH, bukan hanya sekadar kumpulan data. Ini adalah narasi hidup tentang ketahanan, kebijaksanaan, dan aspirasi sebuah komunitas pesisir. Ini mematahkan persepsi lama dan menyerukan pendekatan baru dalam pembangunan dan konservasi.

Temuan ini secara tegas menyimpulkan bahwa sanitasi yang bermartabat harus diangkat menjadi prioritas nasional utama oleh para pembuat kebijakan. Dengan memastikan akses ke fasilitas WASH yang layak, kita tidak hanya meningkatkan kesehatan fisik masyarakat, tetapi juga membangun kembali harga diri dan kesejahteraan emosional mereka. Dan dengan memberdayakan masyarakat yang sudah memiliki ikatan mendalam dengan alam mereka, kita akan membuka jalan bagi upaya konservasi yang lebih kuat dan berkelanjutan, memastikan bahwa hutan mangrove dan kehidupan yang bergantung padanya terus berkembang untuk generasi yang akan datang.

Cerita dari Senggarang adalah sebuah mercusuar harapan, membuktikan bahwa masa depan yang lebih baik, di mana alam dan manusia hidup berdampingan dalam martabat dan harmoni, adalah sebuah kenyataan yang dapat kita wujudkan bersama.

Artikel diatas ditulis berdasarkan Hasil Penelitian Berikut: