Abdul Malik, “Menjaga Keutuhan Bangsa”

You are currently viewing Abdul Malik, “Menjaga Keutuhan Bangsa”
Abdul Malik, M.Pd

JAUH sebelum kedatangan bangsa-bangsa asing, di nusantara ini telah berdiri beratus-ratus negara merdeka, besar dan kecil. Negara-negara merdeka yang berbentuk kerajaan itu mengurusi bangsa mereka masing-masing. Negara-negara dan bangsa-bangsa itu sebagaimana lazimnya pula mengalami pasang-surut, baik secara politik, ekonomi, maupun sosial-budaya. Yang pasti, bangsa-bangsa nusantara itu dikagumi oleh bangsa-bangsa lain karena dua hal: (1) kemahirannya dalam mengelola hal-hal yang berkenaan dengan laut, termasuk keberaniannya mengarungi lautan (SDM kelautan yang andal) dan (2) wilayahnya memiliki sumber daya alam (SDA) yang melimpah.

Di antara kerajaan-kerajaan itu ada yang menjelma menjadi raksasa nusantara. Kerajaan Melayu-Sriwijaya menguasai hampir seluruh kawasan Asia Tenggara. Majapahit pula menjelma menjadi negara besar yang membawahkan kerajaan-kerajaan kecil hampir seluruh nusantara. Kerajaan Melaka melanjutkan kejayaan Majapahit di nusantara. Dan, Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang wilayahnya meliputi sebagian wilayah Indonesia, sebagian Malaysia, dan Singapura sekarang. Pendek kata, negara-negara dan bangsa-bangsa itu merdeka sedia kalanya.

Kemudian, datanglah bangsa-bangsa asing. Mula-mula bangsa Eropa seperti Belanda, Inggris, dan Potugis serta disusul kemudian oleh bangsa Jepun (Jepang) hanya bertujuan untuk mengadakan kerja sama perniagaan dengan negara-negara di nusantara. Namun, karena situasinya memungkinkan untuk memenuhi nafsu duniawinya, mereka pun bertindak lebih jauh lagi untuk menguasai nusantara dengan cara menjajah. Negara-negara dan bangsa-bangsa yang sebelumnya merdeka itu pun terjajahlah. Jauh sebelum itu, pun telah terjadi perhubungan multilateral dengan bangsa-bangsa Asia dan Eropa yang lain, tetapi mereka tak pernah menjajah.

Di dalam sistem pemerintahan kolonial, ada di antara negara di nusantara ini diperbolehkan meneruskan pemerintahannya, tetapi di bawah kendali penjajah. Ada pula negara yang kerajaannya dihapus, Kerajaan Riau-Lingga misalnya pada 1913, sehingga menjadi betul-betul terjajah. Penjajahan Inggris di Malaysia tak menghapus pemerintahan pribumi yang dikepalai oleh sultan, kecuali Kerajaan Melaka karena rajanya beredar tatkala terjadi penyerbuan Portugis ke ibukota kerajaan ternama itu. Nasib tragis menimpa pusat Kerajaan Melayu terbesar setelah Sriwijaya itu yang harus kehilangan tuah beraja sampai sekarang.

Sebagai bangsa yang sebelumnya merdeka, tentulah bangsa-bangsa nusantara tak rela terjajah. Oleh itu, mereka melawan untuk merebut kembali kemerdekaan. Mula-mula perjuangan itu dilakukan secara terpisah-pisah oleh negara masing-masing. Belajar dari kekalahan yang diderita selama ratusan tahun, memasuki abad ke-20 bangsa-bangsa nusantara itu bersatu. Bahkan, lebih jauh penyatuan itu menghala ke perpaduan tanah air, bangsa, dan bahasa untuk memperjuangkan terwujudnya negara besar baru: Indonesia. Alhamdulillah, perjuangan serentak dan serempak itu berjaya. Penjajah Barat dan Timur dapat diusir dari bumi nusantara. Indonesia sebagai kesatuan dari negara-negara dan bangsa-bangsa nusantara itu merdeka! Sejak 17 Agustus 1945 berdirilah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebagai negara modern, di dalam NKRI tak ada lagi kerajaan-kerajaan, kecuali Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Negara baru memberikan harapan baru. Cita-cita dan matlamat terbesarnya adalah mewujudkan kemakmuran bangsa dan kesejahteraan rakyat. Karena apa? Karena hanya dengan itu NKRI dan bangsa Indonesia dapat bersaing dengan negara dan bangsa lain. Hanya dengan itu marwah dan martabat bangsa akan terangkat kembali. Hanya dengan itu cita-cita luhur para pejuang dan pendiri bangsa akan berwujud.

“Malang memang tak berbau.” Kemakmuran dan kesejahteraan bangsa dan rakyat tak juga kunjung berwujud. Bahkan, kemelaratan dan kemiskinan makin kencang melanda rakyat. Ironisnya, kesengsaraan itu banyak terjadi di sentra-sentra SDA yang melimpah ruah. “Ayam mati di lumbung padi, tikus kenyang terus menari.” Suatu gejala ketakadilan kehidupan yang sangat terasa menyesakkan, terutama dialami oleh sebagian besar rakyat.

Bung Karno pernah mengingatkan bahwa generasi beliau dan sebelumnya berjuang melawan musuh yang jelas yakni bangsa penjajah. Namun, generasi berikutnya akan berhadapan dengan para penguasa dari bangsa sendiri. Pasal apa? Pasal para elit penguasa justeru lupa akan cita-cita luhur perjuangan kemerdekaan. Alih-alih mengupayakan kemakmuran bangsa dan kesejahteraan rakyat secara merata dan berkeadilan, mereka serempak, serentak, dan kompak memperjuangkan kemakmuran diri sendiri, kelompoknya, para kroninya, dan pihak asing. Begitu dan begitu, silih berganti. Ratusan triliun, bahkan lebih, uang rakyat menguap.

Ada bukti atau hanya sekadar rumor belaka? Indonesia menjadi negara terkorup di Asia, bukan buktikah itu? “Sudah terang lagi bersuluh”. Lembaga-lembaga penegak hukum sungguh tak berdaya menghadapi para koruptor, bahkan ikut basau (masuk angin). Tak tanggung-tanggung, beberapa pimpinan lembaga yang disebut superbody untuk memberantas korupsi dan memang sangat dipercaya oleh sebagian tokoh (?) dan rakyat yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ternyata terselamatkan dan kebagian deponeering gate.

Lagi, kalau Muhammad Nazaruddin, mantan bendaharawan umum Partai Demokrat dan tersangka pelbagai kasus korupsi, seberani ketika dia dalam pelarian mengungkapkan para pihak yang terlibat, termasuk disebut beberapa pimpinan KPK, entah aib apa lagi yang dapat disembunyikan dari negara ini. Tak ada bukti, tak ada fakta hukum, kata pihak-pihak yang ditunjuk langsung. Mereka lupa—seperti penyakit yang diidap Nazaruddin sekarang—bahwa fakta moralnya, “sudah berandang di terang bulan.” Mata rakyat telah terbuka lebar melihat kesemua pengkhianatan. Ternyata, gaji yang jauh lebih besar daripada penyelenggara negara yang lain tak menjamin para oknum untuk ikut juga menikmati hasil jarahan dari rakyat. Bukan rahasia lagi bahwa perkara korupsi menjadi daya tawar politik, kekuasaan, dan ekonomi di antara para elit itu setakat ini.

Penyelenggaraan negara betul-betul telah menyimpang dari cita-cita proklamasi. Padahal, cita-cita luhur itulah yang harus diperjuangkan para elit ketika mereka dititipkan kekuasaan oleh rakyat. Kenyataannya, mereka bagaikan pagar makan tanaman: rela melihat rakyat sendiri menderita demi kebahagiaan segelintir mereka: dari pusat sampai ke daerah. Ironisnya, dari tangan-tangan merekalah kemiskinan itu diciptakan. Sungguh terlalu!

Tak heran jika ada daerah-daerah tertentu, terutama mereka dari tradisi kerajaan besar dahulu, mengkaji ulang konsep NKRI. Secara ekstrem pertanyaan besarnya: tetap bersatu atau lebih baik berpisah saja. Kesemuanya bermuara pada konsep “kebersamaan dan keadilan” yang sangat sakral disepakati ketika membentuk NKRI. Ketika semua itu kian dikhianati beberapa daerah di Sumatera, Kalimantan, Maluku, dan Papua mulai melakukan re-evaluasi. Bahkan, rakyat Yogyakarta sangat marah ketika Pemerintah Pusat coba menghilangkan keistimewaan DIY. Kecaman mereka, Pemerintah Pusat tak memahami sejarah dan berusaha menusuk hati-sanubari rakyat Yogya. Sungguh berani dan luar biasa!

Sebelum menuliskan ini saya sempat menyaksikan acara “Satu Jam Bersama Rinto Harahap” (TV One). Lagu-lagu “pop manis” yang diciptakan Maestro Musik Indonesia itu kesemuanya bertemakan “cinta-kasih” dan disenandungkan dengan lembut oleh para penyanyi pilihan. Itulah hati-sanubari, jiwa, dan roh bangsa kita sejatinya. Mengapakah penyelenggaraan negara tak dapat dilaksanakan berdasarkan cinta-kasih sesama anak bangsa untuk menjaga keutuhan dan kejayaan NKRI? Sampai bilakah kita harus bertahan dengan keterpurukan moral yang menyiksa ini? Dan, siapakah yang akan ditauladani oleh anak-anak kita dalam Pendidikan Budi Pekerti? Selamat Ulang Tahun ke-66 Kemerdekaan Indonesia. Dirgahayu Republik Indonesia