DAENG AYUB NATUNA

Drs. H. Daeng Ayub Natuna, M.Pd. Foto (Adi Pranadipa/umrah.ac.id)

DUNIA pendidikan kita selalu terlambat melakukan penyesuaian diri dengan perubahan zaman. Hal ini terjadi karena dalam dunia pendidikan itu tidak begitu saja berlaku rumus umum efisiensi, efektifitas, dan produktivitas. Oleh itu, sistem pendidikan nasional hendaknya mampu menjadi agen perubahan yang mampu secara proaktif menciptakan perubahan dengan mendasarkan diri pada value driven, di samping mampu menjadi katalisator perubahan yang reaktif merespon perubahan yang mendasarkan diri pada condition driven.

Fenomena kehidupan yang sangat penting pada abad ke-21 ini ialah adanya pengaruh globalisasi hampir pada semua aspek kehidupan. Konsekuensinya bagi semua bentuk pekerjaan, termasuk pekerjaan mendidik (dosen dan guru), memiliki tantangan yang bersifat mendunia. Hal ini terjadi karena batas-batas geografis sebuah negara bangsa di abad ke-21 semakin tidak penting dilihat dari proses berlangsungnya interaksi dan komunikasi antar individu di bumi ini. Kondisi seperti itu dapat terjadi sebagai akibat dari adanya inovasi yang luar biasa pesatnya dalam bidang teknologi komunikasi, sehingga kejadian apa saja di belahan bumi ini dapat diketahui oleh siapa saja yang memiliki akses ke sistem komunikasi global dalam waktu yang relatif sama.

Keadaan ini menjadi tantangan profesional pendidik di perguruan tinggi (dosen) di abad ke-21. Informasi yang dimiliki pendidik akan segera menjadi kuno jika tidak diperbaharui secara terus menerus. Di pihak lain, dosen bukan lagi orang yang paling pintar di kelas, sebab mahasiswa dapat belajar dari sumber lain selain dosennya. Oleh itu, dalam abad ke-21 dosen harus memiliki keunggulan kompetitif. Hukum survival of the fittest akan berlaku bagi profesi dosen. Untuk menghadapi tantangan itu, jawaban yang paling tepat adalah menanamkan kinerja profesional bagi dosen dalam mengajar sejak dini di kampus, ketika mereka masih mengikuti pre-service training atau masih menjadi mahasiswa. Dengan cara seperti ini sikap profesionalisme dapat ditanamkan pada para mahasiswa sehingga benar-benar menjadi profesional dibidangnya.

Bagaimana sebenarnya ciri-ciri jika seseorang telah memiliki profesionalisme? Untuk menjawab pertanyaan ini, marilah kita mengikuti pendapat Houle, di mana dikatakannya ada sembilan ciri yang perlu dimiliki oleh orang yang layak dikatakan profesional dalam bidang pekerjaannya. Ciri-ciri yang dimaksud oleh Houle itu meliputi: (1) harus memiliki landasan pengetahuan yang kuat; (2) harus berdasarkan atas kompetensi individual; (3)  memiliki sistem seleksi dan sertifikasi; (4) ada kerjasama dan kompetisi yang sehat antar sejawat; (5) adanya kesadaran profesional yang tinggi; (6) memiliki prinsip-prinsip etik (kode etik); (7) memiliki sistem sanksi profesi; (8) adanya militansi individual; dan (9) memiliki organisasi profesi.

Dengan memperhatikan ciri-ciri profesionalisme tersebut, kemudian komponen-komponen utama proses belajar-mengajar: mahsiswa, dosen dan kurikulum dapat dipersiapkan dan dikembangkan secara tersistem dan terintegrasi agar dalam proses tersebut dapat melahirkan manusia yang kelak memiliki profesionalisme yang tinggi. Hanya melalui cara seperti itu, keunggulan kompetitif para lulusan perguruan tinggi dapat ditegakkan. Dengan demikian mereka akan mampu menghadapi tantangan profesional yang muncul di Abad mendatang.

Keunggulan kompetitif bagi mahasiswa dapat ditanamkan sejak dini jika pendekatan entrepreneurship dalam proses belajar-mengajar di perguruan tinggi, khususnya di Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) dapat ditumbuhkembangkan. Praksis pembelajaran di perguruan tinggi sering terjebak pada kondisi yang status quo. Para dosen telah lama menggunakan sistem dan model pembelajaran yang itu-itu saja. Mereka puas dengan apa yang telah dilakukan dalam kurun waktu yang cukup lama, tanpa adanya perubahan. Jika masih ada anggapan seperti ini, proses belajar-mengajar di perguruan tinggi tidak akan menghasilkan tamatan yang mandiri sebagaimana yang dimiliki oleh para entrepreneur.

Oleh itu, jiwa dan naluri entrepreneurship perlu ditanamkan secara sadar dan tersistem agar para lulusan perguruan tinggi mampu mandiri setelah mereka menjadi sarjana. Griffin mengatakan bahwa entrepreneurship yang ditulis oleh Nathaniel H. Leff yang dipublikasikan Office of Economic research, New York Stock Exchange, yaitu: “Entrepreneurship is the capacityfor innovation, investment, and expansion in new markets, products, and techniques“.

Berdasarkan pengetrian tersebut, kemudian Griffin memberikan penjelasan:  ….. an entrepreneur is at work whenever someone takes risks and invests resources to make something new, design new ways of making something that already exists, or create new market. Penjelasan Grifin tersebut memang bernuansa bisnis yang diatur oleh mekanisme pasar. Meskipun demikian, dunia pendidikan khususnya perguruan tinggi  perlu mengadopsinya ke dalam praksis pembelajaran, agar dari praksis pembelajaran itu perguruan tinggi mampu menghasilkan lulusan yang memiliki wawasan untuk mandiri (entrepreneur). Rekomendasi itu kemudian disebutnya dengan “economic” model of schooling. Dalam model ekonomi tersebut, selanjutnya, dikatakan: “An ‘economic’ model of schooling – subject to the forces of supply and demand, diversity and autonomy, accountability and results – makes much more sense than the political model… “.

Jika proses belajar-mengajar di perguruan tinggi penghasil tenaga kerja terdidik harus mampu menghasilkan lulusan yang mandiri dan memiliki keunggulan kompetitif, mau tidak mau harus ada perubahan yang sistematik baik dilihat dari segi tujuan, metode maupun materi pembelajaran itu sendiri. Dalam keadaan yang demikian para dosen tidak bisa lagi hanya mengulang-ulang praktik lama dalam proses pembelajarannya. Dengan demikian, perubahan adalah identik dengan proses pembelajaran itu sendiri. Secara metaforik mengutip ucapan John E Kennedy berikut ini, yaitu untuk menggambarkan pentingnya perubahan yang harus dilakukan oleh perguruan tinggi: “Change is a way of life. Those who look to the past or present will miss the future. ” Metafora itu jika diadopsikan dalam praksis pembelajaran di perguruan tinggi khsuusnya UMRAH berarti: proses pembelajaran baik di kelas maupun di laboratorium, maupun praktikum lapangan perlu ada perubahan sesuai dengan tuntutan dan persyaratan persaingan global pada milenium ketiga. Dalam rangka perubahan itu para dosen dan mahasiswa baik secara individual maupun kelompok dapat melakukan “benchmarking“. Kegiatan untuk melakukan benchmarking dapat dilakukan baik secara internal maupun eksternal.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini