Abdul Malik. “Patriotisme Hang Tuah”

You are currently viewing Abdul Malik. “Patriotisme Hang Tuah”
Drs. H. Abdul Malik , M.Pd

KARYA sastra klasik Melayu yang paling kuat pengaruhnya terhadap patriotisme adalahHikayat Hang Tuah. Pengaruh itu paling terasa terutama bagi masyarakat Melayu walaupun masyarakat lain yang pernah membacanya juga sangat mungkin untuk merasakan sentuhannya. Di kalangan orang Melayu pengaruh Hikayat Hang Tuah—khasnya pengaruh tokoh-tokohnya Hang Tuah, Hang Jebat, dan Bendahara Paduka Raja—telah berlangsung sejak zaman-berzaman hingga sekarang. Nilai-nilai yang terkandung di dalam hikayat ini, termasuk nilai patriotisme, menjadi pedoman nilai dalam hidup bagi orang Melayu, baik generasi tua maupun generasi muda. Inilah contoh karya sastra yang tak lekang dek panas dan tak lapuk dek hujan.

Di samping yang memang telah diterima dan dipahami selama ini, nilai-nilai yang dikandungnya terus mengalami reinterpretasi, terutama oleh kalangan muda. Di antara nilai-nilai yang kerap menjadi perdebatan ialah nilai utama yang menjadi tema Hikayat Hang Tuahyaitu kesetiaan dan ketaatan. Begitu pula nilai-nilai keadilan, kebijakan, kearifan, persahabatan, cinta-kasih, kerja sama, kerja keras, dan sebagainya yang memunculkan patriotisme terus didalami oleh generasi muda Melayu dewasa ini. Perkara itu memang mustahak karena kesemuanya itulah yang membentuk mentalitas dan jati diri orang Melayu. Pada gilirannya, nilai-nilai baik yang membentuk mentalitas itu menjadi pedoman serta daya dorong dan atau pemacu semangat dalam kehidupan, sama ada untuk berpikir, berasa, bersikap, berkelakuan, belajar, ataupun bekerja.

Prof. Dr. Siti Hawa Haji Salleh dalam bukunya Kelopak Pemikiran Sastera Melayu (Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia, Bangi, Malaysia, 2009:383—401) menempatkan Hikayat Hang Tuah sebagai epik Melayu yang membanggakan. Pernyataan beliau itu memang tak terbantahkan. Buktinya, sampai kini cerita-cerita di dalam Hikayat Hang Tuah tetap terpatri di dalam minda dan hati sanubari orang Melayu di mana pun mereka bermastautin.

Tujuan dan tema Hikayat Hang Tuah ditempatkan pengarangnya pada permulaan pengisahan. “… Ini hikayat Hang Tuah yang amat setiawan pada tuannya dan terlalu sangat berbuat kebaktian kepada tuannya.”

Jelaslah bahwa Hikayat Hang Tuah dimaksudkan oleh pengarangnya untuk menonjolkan ketokohan Hang Tuah dengan sifatnya yang taat dan setia kepada raja dan negara. Tokoh-tokoh lain diadakan, bahkan dikorbankan, untuk mendukung ketokohan Hang Tuah. Bukan hanya tokoh-tokoh yang tak terlalu ada kena-mengena dengan dirinya, bahkan, sahabatnya yang telah dianggap sebagai saudara kandungnya sendiri, Hang Jebat, harus dibunuh oleh Hang Tuah demi ketaatan dan kesetiaannya kepada raja (dan negara?).

Hang Tuah, Hang Jebat, Hang Kasturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiu memang menjadi idola orang muda-muda Melayu, terutama Hang Tuah dan Hang Jebat. Kesempurnaan fisik dan sifat mereka sebagai wira (pahlawan) sungguh memesona. Sifat mereka yang rajin menuntut ilmu dan bekerja keras memungkinkan mereka mengubah status diri dari hanya sebatas rakyat biasa menjadi pembesar negara. Mereka memperoleh status itu bukan secara terwaris, melainkan dengan jerih payah yang tanpa mengenal lelah dan putus asa. Keberanian mereka dalam membela negara tak ada tolok bandingnya.

Kecuali itu, jika Hang Tuah disebutkan “mulutnya dengan manisnya berkata-kata”, Hang Jebat pula diperikan oleh pengarang dengan “perkataannya keras”. Guru mereka Sang Aria Putera jauh-jauh hari lagi telah meramalkan bahwa kelima orang bersahabat itu akan menjadi pegawai besar.

Hang Tuah dan ketiga sahabatnya, sekali lagi kecuali Hang Jebat, juga diramalkan akan menerima nasib baik kemudian hari. Bahkan, Hang Tuah diberitahukan akan terbebas dari segala perbuatan hasad-dengki dan fitnah yang dihalakan (diarahkan) kepadanya. Akan tetapi, tak ada alamat baik yang disebutkan untuk Hang Jebat. Kesemuanya itu menjadi isyarat bahwa pada akhirnya Hang Tuah akan dipertentangkan dengan sahabatnya Hang Jebat.

Pada tokoh Bendahara Paduka Raja juga dapat diambil contoh ketaatan dan kesetiaan kepada raja dan negara. Selain itu, dari tokoh ini sangat patut ditiru kebijaksanaan, kearifan, dan kepiawaian dalam menyelamatkan negara dan raja. Dia pun adalah tokoh yang sangat santun berbahasa dan rendah hati. Dalam hal ini, Bendahara terkesan jauh lebih arif daripada raja sekalipun.

Hanya karena jauh lebih tua dan tak bertempur langsung di medan perang, kendatipun dia yang mengatur strategi perang, Bendahara Paduka Raja berada di bawah ketokohan Hang Tuah. Walaupun begitu, nilai-nilai patriotisme sangat ketara pada tokoh Bendahara ini. Ketokohannya mengingatkan orang akan tokoh Demang Lebar Daun di dalam Sulalat al-Salatin (Sejarah Melayu).

Tokoh raja pula diperikan sangat taksa, ambigu. Dia condong mempermainkan keadilan sesuai dengan seleranya, sewenang-wenang, dan sekehendak hatinya. Kebijaksanaannya dalam menyelenggarakan negara dan memerintah membuat pembaca berasa kelam-kabut di dalam hati. Dari kebijaksanaannya yang terkesan tergesa-gesalah yang memunculkan tragedi “pendurhakaan” Hang Jebat.

Hukuman mati yang dijatuhkan kepada Hang Tuah yang selama ini sangat taat dan setia kepada raja dan negara membangkitkan kemarahan Hang Jebat. Raja seolah-olah tak memiliki kecerahan dan kebeningan nurani untuk membedakan kasa dengan cindai; kaca dengan permata. Secara objektif, pengarang seolah-olah hendak menegaskan bahwa selagi bernama manusia, raja pun memiliki kelemahan, di samping kelebihan yang ada padanya. Akan tetapi, para pembaca mempunyai tafsiran lain: “penguasa memang cenderung berlaku zalim.” Alhasil, tindakan Hang Jebat mendapat sokongan setidak-tidaknya dari sebagian pembaca.

Dalam keadaan serupa itu, tak ada jalan lain bagi Hang Jebat, selain menuntut bela. “Raja adil raja disembah, raja zalim raja disanggah,” ungkapannya yang terkenal itu terus terngiang-ngiang di dalam minda dan hati orang Melayu. Ungkapan itu menjadi setara, sejajar, sebanding, dan setanding dengan ucapanan Hang Tuah, “Tuah sakti hamba negeri, esa hilang dua terbilang, patah tumbuh hilang berganti, tak Melayu hilang di bumi.” Nampaknya, kedua tokoh ini terus dan selamanya berupaya berebut simpati pembacanya dengan pikiran, perasaan, sikap, dan perilaku khas mereka masing-masing. Tindakan Hang Jebat itu mengingatkan kita akan “Sumpah Setia Melayu” antara Demang Lebar Daun dan Sang Sapurba di dalam Sulalat al-Salatin (Sejarah Melayu). Dalam hal ini, bukankah raja yang mengubahkan (mengingkari) Sumpah Setia itu?

Maka sembah Demang Lebar Daun, “Adapun Tuanku segala anak-cucu patik sedia jadi hamba ke bawah duli Yang Dipertuan; hendaklah ia diperbaiki oleh anak-cucu duli Tuanku. Dan, (jika) ia berdosa, sebesar-besar dosanya pun, jangan ia difadhihatkan, dinista dengan kata yang jahat; jikalau besar dosanya dibunuh, itu pun jikalau berlaku pada hukum syarak.”

Maka titah Sang Sapurba, “Hendaklah pada akhir zaman kelak anak-cucu Bapa hamba jangan durhaka pada anak-cucu kita, jikalau ia zalim dan jahat pekerti sekalipun.”

Maka sembah Demang Lebar Daun, “Baiklah Tuanku, tetapi jikalau anak buah Tuanku dahulu mengubahkan dia, maka anak-cucu patik pun mengubahkanlah.”

Maka titah Seri Tri Buana,”Baiklah, kabullah hamba akan waad itu.”

Maka keduanya pun bersumpah-sumpahlah, barang siapa mengubahkan perjanjiannya itu dibalik(kan) Allah subhanahu wa taala bumbungan rumahnya ke bawah, kaki tiangnya ke atas.

 

     Hikayat Hang Tuah telah berhasil memberikan pengaruh positif terhadap patriotisme masyarakat, terutama masyarakat Melayu. Sampai setakat ini tokoh-tokoh, watak, dan peristiwa yang diceritakan di dalam hikayat itu masih terus menjadi perbincangan. Para pemuda Melayu dihadapkan pada pilihan sulit: hendak berpihak kepada Hang Tuah atau Hang Jebat dalam menunjukkan jati diri Melayu. Apalagi, pengarang memang membuka ruang seluas-luasnya untuk pembaca menentukan sikap dan pilihannya walau ceritanya dipusatkan pada ketokohan Hang Tuah. Dalam hal ini, Hikayat Hang Tuah menjadi karya sastra sejarah (karya sastra yang diangkat dari peristiwa sejarah) yang sangat berhasil menampilkan karakter tokohnya.

Para pakar sejarah, sastra, dan atau budaya boleh melakukan analisis dan interpretasi ilmiah apa pun sesuai dengan bidang ilmu mereka masing-masing. Akan tetapi, khalayak penikmat (entah memang membacanya atau sekadar mendengarkan ceritanya dari orang yang pernah membacanya) mempunyai penilaian tersendiri. Dalam hal ini, pilihan kepada Hang Jebat, justeru, makin mengemuka di kalangan generasi muda Melayu masa kini. Perbedaan ruang dan waktu, barangkali, menjadi penyebab utama peralihan pilihan ke arah “yang berlawanan” itu.***

 

Dimuat juga Batam Pos, Ahad, 25 Desember 2011