RAMADAN senantiasa disambut dengan suka cita oleh setiap umat Islam. Bulan yang penuh keampunan ini menjadi sangat istimewa karena pada Ramadanlah dianjurkan pelaksanaan ibadah-ibadah istimewa, baik yang wajib maupun yang sunat, seperti berpuasa sebulan penuh sejak terbit fajar sampai dengan terbenam matahari, mengerjakan salat tarwih dan witir, dan membayar zakat fitrah. Itu adalah sebagian dari ibadah yang berhubung dengan pengamalan agama Islam. Masih banyak lagi amal-ibadah yang dianjurkan pada bulan yang amat baik ini.
Ramadan tak hanya menampilkan nuansa pelaksanaan ibadah agama. Di dalam masyarakat Melayu, juga masyarakat muslim lainnya di banyak tempat di dunia ini, pada bulan suci itu dilaksanakan pelbagai kegiatan yang bernuansa budaya. Di antara tradisi yang sangat menarik itu adalah berbagi juadah dan beraneka makanan khas, khasnya untuk berbuka puasa, dengan para tetangga dan sanak-saudara.
Di perkotaan setakat ini sejak siang sampai dengan menjelang magrib kita akan menyaksikan banyak sekali orang yang menjual makanan untuk berbuka puasa. Bahkan, telah menjadi kebiasaan pula, pemerintah tempatan menyediakan tempat-tempat khusus bagi penjual makanan perbukaan untuk menjual dagangannya. Tak heranlah beberapa tempat strategis di kota-kota berubah menjadi pasar makanan dadakan dan bermunculan pulalah para penjual makanan yang tentu saja dadakan juga. Dapat dipastikan pula bahwa ada para peniaga makanan dan minuman yang memang itulah pekerjaannya selama ini memindahkan atau memperluaskan perniagaannya ke pasar dadakan tersebut karena tempat itu ternyata sangat diminati masyarakat pada hari-hari Ramadan. Tempat-tempat seperti itu lebih banyak dikunjungi masyarakat dibandingkan dengan restoran, rumah makan, dan atau toko kue yang memang telah sedia ada selama ini.
Masyarakat yang datang ke “pasar perbukaan Ramadan” itu jelaslah untuk membeli pelbagai keperluan makanan dan minuman untuk berbuka, bahkan ada di antaranya untuk bersahur juga. Seluruhnya atau sekurang-kurangnya sebagiannya tak hanya membeli makanan dan atau minuman untuk keperluan keluarganya saja, tetapi juga dilebihkan untuk diberikan kepada para tetangga. Orang-orang yang membiasakan diri untuk berbagi dengan tetangga dan saudara-mara itu mengikuti tradisi mereka di kampung. Ada perasaan tak selesa atau tak nyaman jika tak berbagi makanan, minuman, atau sekadar juadah perbukaan dengan para tetangga. Soal sedikit atau banyak tak perlulah dikira.
Di kampung-kampung pasar makanan dadakan seperti itu sampai setakat ini belum lagi dijumpai. Masyarakat membuat dan memasak sendiri minuman, juadah, dan makanan untuk keperluan berbuka dan bersahur. Umumnya dalam kategori makanan utama, selain nasi putih, masyarakat lebih menyukai makanan khas pada bulan Ramadan. Hal itu dilakukan karena Ramadan merupakan bulan yang khas sehingga harus disambut dengan cara yang khusus pula. Tak lebih tak kurang itulah niat dan maksud yang dipasang untuk menyediakan makanan yang berbeda daripada hari-hari biasa pada hari-hari Ramadan. Fenomena itu pun menjadikan Ramadan lebih istimewa, selain dari pelaksanaan ibadah yang dianjurkan oleh agama yang telah diperikan di atas.
Di dalam masyarakat Melayu, dalam kategori makanan utama, selain nasi putih, pada hari-hari Ramadan masyarakat lebih sering menyediakan pelbagai variasi nasi goreng, nasi lemak, nasi dagang, nasi minyak, dan nasi buryani. Dari golongan mie pula ada mie rebus, mie goreng atau mie siam, mie kari, dan lain-lain dengan pelbagai variasi. Ada pula laksa berkuah dan laksa goreng, yang bahan utamanya terbuat dari sagu.
Dalam golongan lauk-pauk, selain pelbagai variasi gulai asam-pedas, sering ada beraneka ragam masakan khas. Ada ikan pindang, ikan kerokak, ikan singgang, pelbagai variasi ikan bakar atau panggang, beraneka ragam ikan goreng, variasi-variasi ikan rebus, otak-otak, ikan pais (pepes), kari ikan, ikan gulai lemak, kormak ikan, asam-manis ikan, ikan masak kecap, sup ikan, dan sederet panjang senarai masakan ikan. Bahannya umumnya ikan segar, tetapi ada juga ikan beku, ikan salai, ikan kering (ikan yang dijemur tanpa digarami), dan ikan asin.
Makanan dari hewan laut dan atau sungai, selain ikan, yang juga sangat digemari berupa pelbagai jenis sotong atau cumi-cumi, beraneka ragam udang, bermacam-macam ketam atau kepiting, kerang-kerangan, dan sebagainya. Umumnya makanan itu dimasak dengan cara direbus, dikukus, dibakar, dan digoreng. Variasi bumbu dan teknik memasaknya memunculkan nama yang berbeda bagi setiap jenis makanan itu walaupun bahan bakunya sama. Sotong masak hitam dan sotong asam-manis berbeda, misalnya, karena bumbu dan teknik memasaknya tak sama. Sebagai akibatnya, rasa masakannya juga tentulah berbeda walaupun bahan bakunya sama-sama cumi-cumi.
Selain itu ada pula lauk yang terbuat dari daging ayam dan daging sapi. Golongan daging itu ada yang dimasak gulai lemak, kari, kormak, pelbagai jenis panggang atau bakar, goreng, rendang, dan sebagainya.
Sayur-sayuran pun bervariasi juga. Di antaranya sayur bening, sayur tumis, sayur lemak, sayur goreng berkuah, sayur goreng kering, paceri kari, paceri bening, dan sebagainya. Selain memang bahan utamanya jenis sayur-mayur, orang Melayu biasa pula menjadikan beberapa jenis buah-buahan sebagai sayur. Di antara buah-buahan yang biasa dibuat sayur adalah pisang muda, jantung pisang, nangka, biji cempedak atau nangka, labu, nenas, betik (pepaya) muda, dan pelbagai buah-buahan yang lazimnya memang dijadikan sayur seperti labu air, kundur, dan lain-lain.
Jenis umbi-umbian pun ternyata sangat sedap jika dibuat sayur. Oleh sebab itu, janganlah heran jika ada sayur yang bahan bakunya ubi kayu, keledek (ubi jalar), keladi (talas), dan kentang. Pucuk ubi kayu juga dijadikan sayur beraneka ragam. Dari keladi pula, selain umbinya, pelepah dan sulurnya ternyata dapat dijadikan sayur yang sungguh membangkitkan selera.
Masih ada lagi jenis sayur yang bahan bakunya umbut-umbutan. Yang termasuk kategori ini adalah sayur umbut kelapa dan sayur rebung (dari rebung buluh).
Bagi Anda yang belum pernah menikmati sayur bening pisang muda yang diketuk dan diberi bumbu antara lain rencah udang, ebi, atau bilis (teri), yang dipadu dengan lada hitam atau merica, sekali-sekali cobalah. Mirip dengan itu ada sayur bening dengan rencah yang sama, tetapi bahan bakunya sulur keladi, yang boleh dicampur dengan umbinya. Dapat dipastikan Anda akan terpinga-pinga karena begitu lezatnya. Pokoknya, meminjam kalimat lagu “Bareh Solok” Elly Kasim, “Indak nampak, ehm … mintuo lalu!” Di suatu kota di negara kita sayur pisang muda dan keladi itu telah dijadikan menu istimewa restoran ternama. Padahal, awalnya makanan itu berasal dari kampung, hasil kreativitas kaum ibu di kampung-kampung turun-temurun.
Pada bulan puasa ini golongan juadah yang disukai oleh orang Melayu adalah kue-kue basah. Ada banyak sekali jenis kue. Di antaranya penganan talam, seri salat, boulu basah (boulu kemboja), aman sari, lopis, buah melaka, penaram, bingka ubi, bingka pisang, ongol-ongol, epok-epok, jemput-jemput, kue jongkong, belebat (lepat), kue lapis, putu piring, putu mayang, putu bambu, roti kirai (roti jala), roti canai, pisang goreng, ubi goreng, sukun goreng, dan masih banyak lagi. Tentulah aneka jenis kolak atau bubur tak ketinggalan juga.
Di mesjid-mesjid biasa pula dilakukan tradisi memasak bubur berlauk untuk berbuka. Selain bubur berlauk, ada juga yang menyebutnya bubur pedas sebagai nama makanan yang bercampur baur ini. Masih sangat mungkin ada variasi nama lain seperti bubur Aceh, sebutan yang populer di Aceh. Apa pun namanya, jenis makanannya relatif sama atau mirip. Begitu pula tujuan, proses dan teknik memasaknya, dan cara menikmatinya sama yakni sama-sama dalam kebersamaan.
Bubur berlauk itu adalah nasi bubur atau bubur nasi, yang kadang-kadang juga dicampur dengan ubi kayu, dengan kesemua lauk-pauk dan bumbunya diaduk menjadi satu. Masyarakat memasaknya secara bersama-sama untuk kemudian dinikmati secara bersama-sama pula kala berbuka puasa. Tentulah ada seorang juru masak yang memimpin proses memasaknya. Sesiapa pun yang datang ke mesjid untuk salat magrib berjamaah boleh menikmati bubur berlauk itu walaupun dia tak ikut memasaknya. Pendek kata, bubur berlauk memang makanan khas untuk berbuka dan terbuka bagi umum untuk menyantapnya bersama-sama dengan hati yang terbuka.
Inilah nilai budayanya yang mustahak. Makanan itu dimasak oleh suatu keluarga bukan untuk keluarganya saja. Menjelang berbuka puasa, makanan, minuman, dan atau juadah diantarkan kepada tetangga-tetangga terdekat dan saudara-mara yang rumahnya terjangkau. Jumlah tetangga yang dikirimi makanan perbukaan itu terpulanglah kepada kesanggupan atau kemampuan setiap keluarga untuk menyediakannya. Yang pasti, tak pernah ada keluarga yang memasak makanan pada bulan Ramadan hanya untuk keluarganya sendiri. Kalau tak banyak, sedikit pun pasti ada tetangga yang diantarkan perbukaan itu.
Pengantaran makanan perbukaan berbalas-balasan di antara para tetangga itu. Praktisnya, setiap keluarga tak perlu menyediakan makanan perbukaan yang banyak jenisnya. Karena apa? Karena antaran balasan dari tetangga dan atau saudara-mara akan berdatangan pula. Hanya mereka yang memang tak mampu menyediakan makanan saja yang tak mengirimkan makanan ke rumah jirannya. Mereka tak mampu biasanya karena sakit sehingga tak dapat memasak atau memang tak mampu membeli bahan makanan karena keterbatasan rezeki. Walaupun begitu, kekurangan itu tak membuat mereka terasing di antara para tetangganya. Ringkasnya, setiap keluarga yang bertetangga itu akan menikmati rezeki dari Allah swt. ketika mereka berbuka puasa. Alhasil, hari-hari Ramadan dapat dinikmati dengan indah, menghilangkan pikiran yang gundah, sehingga meningkatkan semangat beribadah.
Begitulah tradisi Ramadan memunculkan kasih sayang di antara sesama. Rasa solidaritas begitu mengemuka. Tak ada yang berasa dirinya atau keluarganya kurang atau lebih daripada orang lain. “Yang kurang ditambahkan, yang tiada diadakan, yang berlebih dibagikan.” Itulah prinsip yang dianut dan dilaksanakan. Kesemuanya berpandangan sama dalam kebersamaan dengan niat yang tulus mendambakan keridaan Ilahi.
Jika nilai-nilai itu terus diamalkan pada bulan-bulan setelah Ramadan, niscaya persaudaraan, kebersamaan, tolong-menolong, dan rasa senasib-sepenanggungan akan terus bermekaran di hati sanubari sehingga berwujud pada budi pekerti. Dengan demikian, menjadi jelas kepada kita akan makna ucapan Raja Ali Haji, “Barang siapa meninggalkan puasa, tiada mendapat dua termasa.” Pasal apa? Pasal, ibadah puasa menyediakan keindahan duniawi dan lebih-lebih ukhrawi yang sangat patut kita syukuri.
Karena bercerita soal makanan, saya terkenang akan kedua orang tua yang telah tiada. Oleh sebab itu, kolom kali ini saya dedikasikan khusus buat almarhumah ibu saya, juga almarhum ayah yang cukup mahir dan rajin memasak, terutama ketika ibu sedang sakit. Dari merekalah saya belajar tentang keindahan Ramadan—antara lain, melalui berbagi pada bulan suci ini—yang membuat saya lebih-lebih merindui mereka ketika Ramadan tiba. Juga, inilah kado istimewa ulang tahun untuk istri saya yang sangat rajin memasak untuk suami dan anak-anaknya di tengah kesibukannya yang lumayan juga. Dan, ini pun menjadi persembahan khas saya untuk para ibu-bapa yang senantiasa menjadikan Ramadan bulan yang indah untuk beribadah bagi putra-putri tercinta yang salih dan salihah. Selamat menunaikan ibadah puasa yang penuh berkah.***
dimuat juga di Batam Pos, Ahad, 29 Juli 2012