Serbatujuh: Pandangan Raja Ali Haji tentang Ilmu

You are currently viewing Serbatujuh:  Pandangan Raja Ali Haji tentang Ilmu

Abdul Malik

AM-TogaKEBUDAYAAN Melayu mengenal ungkapan serba yang dikaitkan dengan adat dan adab berpakaian. Dalam hal ini, ada urut-urutan serbatiga, serbalima, serbatujuh, dan serbasembilan. Makin banyak keserbaannya, makin tinggi pula status sosial dan atau derajat seseorang dalam masyarakat serta makin dihormati pulalah orang yang mengenakan keserbaan pakaian itu. Dalam acara adat, misalnya, orang besar-besar (orang yang berpangkat tinggi) wajib mengenakan kelengkapan pakaian serbatujuh dan hanya sultan atau raja saja yang boleh beperlengkapan pakaian serbasembilan. Derajat dan kehormatan yang disimbolkan oleh keserbaan pakaian itu taklah berdiri sendiri, tetapi wajib pula disertai dengan kualitas budi-pekertinya. Kelengkapan serbasembilan yang dikenakan oleh seseorang sultan menjadi tak bermakna jika dalam memimpin dan atau memerintah, dia berlaku zalim. Keserbaan pakaian adalah simbol lahiriah, sedangkan pakaian budi-pekerti adalah simbol batiniah. Jadi, kesebatian, keselarasan, keserasian, kesesuaian, dan kepatutan antara keserbaan pakaian lahiriah dan pakaian batiniah itulah yang menentukan mutu dan keutamaan seseorang manusia.

Bukan kebetulan ketika Raja Ali Haji memerikan tujuh kata utama dalam Al-Bab al-Awwal (Bab Pertama) kamus ekabahasanya Kitab Pengetahuan Bahasa (1858). Di dalam karya kamus itu, setelah dibahas ketujuh lema utama secara panjang lebar, Raja Ali Haji memberikan pula simpulannya. Berikut ini simpulan yang dimaksud.

Pertama, Allah yakni nama zat Tuhan Yang Mahabesar dan Mahamulia. Dialah Tuhan yang wajib adanya, mustahil tiadanya. Keberadaannya tak disebabkan oleh sesuatu. Dialah yang menjadikan alam daripada tiada kepada ada. Allah memiliki sifat-sifat Yang Mahasempurna, daripada-Nyalah segala makhluk dapat berwujud dari mulanya tiada.

Kedua, al-Nabi yaitu Ahmad yang masyhur namanya Muhammad. Dialah Rasul Allah yang wajib diikuti dan haram atas segala makhluk mendustakan dan menyalahinya. Dengan mengikutinya, manusia akan memperoleh kesempurnaan, tetapi durhaka dan merugilah orang-orang yang menolaknya.

Ketiga, al-Ashab yaitu kesemua sahabat Nabi Muhammad s.a.w. Mereka dimulai dari Saidina Abu Bakar Al-Siddiq, Saidina Umar ibn Al-Khatab, Saidina Umar ibn Affan, Saidina Ali ibn Abi Thalib, dan seterusnya. Segala sahabat itu kesemuanya menyertai pekerjaan dan berjuang bersama Nabi Muhammad s.a.w. dalam mendirikan agama Islam.

Keempat, al-Akhbar yaitu segala ulama yang besar-besar yang alim lagi muhtadi, yang menyebarkan agama Islam sampai ke akhir zaman. Orang-orang yang mengikuti dan membesarkan segala ulama sama halnya dengan mengikuti dan membesarkan segala nabi dan rasul, yang berarti juga patuh terhadap Allah s.w.t.

Kelima, al-Insan yaitu manusia yang tiada lain makhluk yang dijadikan Allah s.w.t. dari tiada kepada ada. Jasadnya dijadikan dari empat anasir: api, angin, air, dan tanah. Manusia terdiri atas jasad dan ruh atau nyawa yang menyebabkan tubuhnya dapat hidup. Manusia menjalani takdirnya masing-masing.

Keenam, al-Awwali yaitu dunia yang juga dijadikan oleh Allah s.w.t. daripada tiada. Ada yang nampak dipandang dengan mata dan pancaindera dan ada yang halus. Segala perbuatan dan kelakuan manusia sebelum dia mati yang tak berguna bagi akhirat, juga disebut dunia walaupun bentuknya seperti perbuatan akhirat. Sebaliknya, perbuatan dan kelakuan sebelum mati yang berguna bagi akhirat walaupun berbentuk dunia, tetaplah dinamai akhirat. Di antara syurah dunia yang tak berfaedah bagi akhirat seperti bermegah-megah, menumpuk harta kekayaan, takabur, dan pelbagai perbuatan tercela lainnya. Sebaliknya, berbuat adil dan menyenangkan hati rakyat, misalnya, akan jelas kebaikan dan pahalanya, sangat berfaedah bagi akhirat dan bermanfaat bagi dunia.

Ketujuh, al-Akhirat yaitu kesudahan pekerjaan dan perjalanan manusia. Bermulanya dari keluarnya ruh dari badan, masuk ke alam barzah yang zahirnya kubur, yang dapat berupa kebun dari beberapa kebun surga atau satu galian dari beberapa galian api neraka. Yang hidup di dalam surga adalah mereka yang sa’adah, mati dalam hasanul khatimah, yang diampuni Allah segala dosanya. Yang tinggal di dalam neraka adalah mereka yang syaqawah yakni yang mati tak beriman kepada Allah dan rasul-Nya.

Itulah ikhtisar ketujuh kata utama atau lema pada bab awal Kitab Pengetahuan Bahasa. Mengapakah ketujuh lema itu yang pertama sekali diperikan oleh Raja Ali Haji di dalam kamusnya? Jawabnya tiada lain bahwa pengkajian bahasa adalah ilmu untuk mencapai makrifat yakni mengenali Allah dan segala kewujudannya, memperteguh keimanan dan ketakwaan, serta mempertinggi adab-pekerti yang mulia. Itulah sandaran utama setiap ilmuwan Islam ketika mereka membahas ilmu bahasa. Dengan cara dan gayanya yang khas, Raja Ali Haji menyimpulkan perkara itu.

“… segala manusia itu apabila mengenal makrifat yang tujuh dan pengetahuan yang tujuh … itu serta beriman akan dia, niscaya sempurnalah akalnya dan berbedalah ia dengan binatang pada pihak pengetahuannya.”

Padahal, kata Raja Ali Haji, tiada beda antara manusia dan binatang, kecuali pada akal-budi dan ilmu yang makrifat itulah. Itulah sebabnya, bahasa harus dipelajari dan diajarkan secara benar dan baik supaya diperoleh ilmu yang benar dan adab yang santun.

Di dalam mukadimah satu lagi karya agung bidang bahasanya yang ditulis lebih awal yakni Bustan al-Katibin (1851), Raja Ali Haji menegaskan perhubungan antara kemahiran berbahasa, ilmu yang tinggi, dan adab-pekerti yang mulia. Untuk itu, beliau menegaskan pendiriannya yang memesona dalam pengembangan ilmu-pengetahuan yang sesungguhnya.

“Bermula kehendak ilmu perkataan pada jalan berkata-kata karena adab dan sopan itu daripada tutur kata juga asalnya, kemudian baharulah pada kelakuan. Bermula apabila berkehendak kepada menuturkan ilmu atau berkata-kata yang beradab dan sopan, tak dapat tiada mengetahui ilmu yang dua itu yaitu ilmu wa al-kalam (ilmu dan pertuturan). Adapun kelebihan ilmu wa al-kalam amat besar …. Ini sangat zahir pada orang yang ahli nazar [peneliti, A.M.].”

Sangat jelas pandangan Raja Ali Haji yang menegaskan begitu mustahaknya kedudukan bahasa bagi manusia. Untuk apa? Agar manusia mampu mencapai taraf orang yang beradab sopan, berakal-budi, dan berilmu yang tinggi lagi bermanfaat bagi seluruh alam. Oleh sebab itu, bahasa harus dipelajari, untuk kemudian dipergunakan secara benar dan baik. Tanpa itu, jangan diharap akan diperoleh ilmu yang benar dan bermanfaat, apalagi adab dan budi-pekerti yang baik lagi mulia.

Masih di dalam mukadimah Bustan al-Katibin, lebih awal beliau telah menjelaskan hal yang berikut ini.

“… kelebihan akal dan adab itu tiada sebab bangsa dan sebab asal. Jikalau beberapa pun bangsa [Maksudnya, asal-usul keturunan yang hebat, misalnya keturunan ningrat atau orang yang berpangkat tinggi, A.M.] jika tiada ilmu dan akal dan adab, ke bawah juga jatuhnya yakni kehinaan juga diperolehnya…. Buah akal itu menaikkan ikhtiar…barang siapa jahat adabnya sia-sialah bangsanya…. Apabila tiada ilmu dan akal, alamat tiadalah ia mencium bau kemuliaan dan sangatlah jinak kehinaan kepadanya…. Maka tatkala itu hukumnya badan itu seperti binatang.” Karena apa? Karena akal telah keluar dari tubuh sehingga laknat Allah akan datang lantaran ketiadaan ilmu yang benar dan berfaedah.

Atas dasar itu pulalah Raja Ali Haji menekankan pentingnya tertib bertutur dan berbahasa. Pasalnya, bahasa menjadi dasar pembinaan ilmu dan adab-pekerti. Oleh sebab itu, setiap orang harus memahiri bahasa secara benar dan baik, terutama harus dikaitkan pembelajaran bahasanya dengan matlamat untuk mencapai makrifat mengenali Allah, mengagungkan-Nya, dan mensyukuri nikmat dan rahmat ilmu dan akal yang dianugerahkan-Nya sehingga manusia menjadi makhluk yang lebih mulia dibandingkan dengan makhluk yang lain.

Memang tak terbantahkan bahwa manusia menjadi  berbeda dari hewan, misalnya, karena manusia memiliki bahasa. Dengan bahasanya, manusia memiliki kebudayaan untuk selanjutnya ditingkatkan lagi menjadi peradaban atau tamadun. Alhasil, manusia harus bertanggung jawab memperbaiki dan memperbaharui kehidupan hingga sampai ke puncak tamadunnya yang tertinggi.

Dalam hal ini, Raja Ali Haji memiliki pandangan yang sangat maju dan modern. Bahkan, beliau mampu melampaui capaian makrifat keilmuan yang mungkin tak mampu diraih oleh seseorang ilmuwan yang menyebut dirinya modern sekalipun. Itulah sebabnya, banyak ilmuwan modern yang salah dalam memahami filsafat dan ilmu bahasa yang dikembangkan oleh Raja Ali Haji. Karena apa? Karena mereka meninjaunya dari sudut yang amat dangkal atau hanya dari paras terluar saja sehingga tak mampu menyelam ke kedalaman lautan hikmah keilmuan yang diterapkan untuk kemudian dikembangkan oleh Raja Ali Haji. Intinya, Raja Ali Haji mengkaji dan mengembangkan disiplin ilmu bukan semata-mata untuk pakaian hidup manusia di dunia sahaja, melainkan lebih daripada itu juga bermanfaat sebagai bekal untuk kehidupan di akhirat.

Bagi Raja Ali Haji, tanggung jawab ilmuwan yang sesungguhnya adalah menemukan dan mengembangkan ilmu untuk mengetahui, memahami, meyakini, dan pada gilirannya memuji kebesaran Allah dengan segala konsekuensi ikutannya: keimanan, ketakwaan, adab, sopan-santun, dan ketinggian budi pekerti. Alhasil, karena niat yang suci, tujuan yang mulia, strategi yang tepat, dan metode yang benar, bahasa yang dibina oleh Raja Ali Haji menjadi bahasa nasional beberapa negara di Asia Tenggara karena rahmat yang dicurahkan oleh Allah s.w.t. Begitu pun ilmu yang dikembangkannya, Insya Allah, sangat berguna bagi kita, baik sebagai pedoman hidup di dunia, maupun sebagai bekal menuju ke akhirat.

Serbatujuh yang diperikan oleh Raja Ali Haji pada bagian awal karya kamus bahasa Melayunya itu sangat nyata bukanlah kebetulan semata. Itulah inti ilmu yang hendak dikembangkan dan didedikasikannya kepada umat manusia sejagat. Dengan mengetahui, memahami, mendalami, meyakini, dan pada gilirannya menerapkannya dalam hidup, Insya Allah, umat manusia akan menemukan jalan yang lempang, lebar, mulus, lagi indah dalam dua kehidupan yang pasti dijalani: sekarang dunia dan kelak akhirat.

Serbatujuh, yang mengisi unsur lahiriah dan batiniah, itulah yang menentukan mutu manusia yang sesungguhnya. Serbatujuh itulah yang menjadi dasar bagi manusia untuk mengembangkan diri untuk menjadi manusia seutuhnya. Serbatujuh, yang jika dituntut, dipahami, diimplementasi, dan dikembangkan dalam kehidupan, akan mewujudkan manusia yang tak hanya berilmu pengetahuan, tetapi juga memiliki akhlak al-karimah, budi-pekerti yang mulia. Serbatujuh sebagai pakaian lahiriah dan batiniah manusia, yang apabila disebut nama Allah sekujur tubuhnya bergetar dalam arti yang sesungguhnya, yang membuatnya takut sengeri-ngerinya untuk berbuat aniaya kepada sesama manusia, termasuk kepada dirinya sendiri, dan kepada alam semesta.

Pakaian serbatujuh itulah yang benar-benar menyelamatkan manusia. Pasal apa? Pasal,  derajatnya pasti ditinggikan Allah. Itulah kelengkapan pakaian serbatujuh yang didambakan oleh manusia yang boleh dianugerahkan mahkota tujuh bintang sebagai simbol kesempurnaan dalam dirinya. Manusia berkelas dan bermutu tujuh bintang itu tiada lain adalah mereka yang berhasil memadukan dengan serasi dan mesra kedua hal utama: ilmu yang berguna dan budi-pekerti yang mulia.@@@

 

Catatan:

Dimuat juga di “Kolom Budaya, Batam Pos, Ahad, 15 September 2013