Sungai Carang: Tapak Tuah dan Marwah

You are currently viewing Sungai Carang: Tapak Tuah dan Marwah

ABDUL MALIK

malik-tanjak
Drs. H. Abdul Malik, M.Pd

TANJUNGPINANG sekarang kita kenal sebagai pusat pemerintahan Pemerintah Kota Tanjungpinang dan Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau. Suatu masa dahulu kawasan ini pernah menjadi pusat pemerintahan negara yang besar. Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang nama negara itu. Kawasannya meliputi seluruh Provinsi Kepulauan Riau, beberapa daerah lain di Sumatera, dan sebagian besar Malaysia, dan Singapura sekarang.

Sebelum Sultan Mahmud Riayat Syah memindahkan pusat pemerintahan ke Daik, Lingga, dan kedudukan Yang Dipertuan Muda dipindahkan ke Pulau Penyengat Indera Sakti, kedua penguasa negeri itu berhimpun di pusat pemerintahan di Sungai Carang, Hulu Riau. Begitulah Sungai Carang memainkan perannya yang sangat signifikan dalam perjalanan sejarah kejayaan Kesultanan Melayu Riau-Lingga-Johor-Pahang.

Tersebutlah Laksemana Tun Abdul Jamil atas titah Sultan Abdul Jalil Syah III membuka Sungai Carang, Hulu Riau di wilayah administratif Kota Tanjungpinang sekarang, pada 1673. Tak diragukan lagi bahwa yang terpikirkan oleh Baginda Sultan dan para pembesar Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang kala itu adalah ini. Kawasan itu, Sungai Carang, akan dikembalikan menjadi pusat pemerintahan Kesultanan Melayu yang ternama untuk menjulangkan kembali kejayaan tamadun Melayu setelah robohnya Kerajaan Melaka. Bukankah semasa Kerajaan Bintan, pulau bertuah itu pun pernah menjadi pusat pemerintahan negara?

Kini pun, setelah dibukanya Sungai Carang, tak diragukan lagi bahwa kawasan Tanjungpinang itu dapat menggantikan posisi Johor yang kala itu masih menjadi pusat pemerintahan kerajaan.

Begitulah, kemudian, Sungai Carang atau Hulu Riau menjadi pusat pemerintahan Kesultanan Riau-Johor setelah pusat pemerintahan dipindahkan dari Johor ke Pulau Riau oleh Sultan Ibrahim Syah, penerus Sultan Abdul Jalil Syah III. Pulau Riau sesungguhnya adalah pulau kecil yang dipisahkan oleh Sungai Carang, Sungai Terusan, Sungai Ladi, dan Sungai Timun dengan tanah besar Pulau Bintan.

Di kalangan masyarakat tempatan, kota itu juga disebut Riau Lama, Kota Raja, atau Kota Lama. Penamaan Kota Raja dilakukan sehubungan dengan kota itu dijadikan tempat kedudukan Sultan Riau-Johor atau Yang Dipertuan Besar, yang kala itu dijabat oleh Sultan Ibrahim.

Sungai Carang pulalah yang menjadi saksi sekaligus tempat bertolak, setahun kemudian, tatkala Sultan Ibrahim menitahkan Laksemana Tun Abdul Jamil untuk menjemput kembali marwah Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang yang pernah dicabar ketika masih berpusat di Batu Sawar, Johor Lama. Dan, dari tanah bertuah itu Laksemana Abdul Jamil berjaya secara gemilang mengangkat kembali marwah negaranya sehingga musuh mengaku takluk kepada kesultanan yang berdaulat lagi perkasa itu. Sejarah kejayaan awal pun tercatatlah sudah. Itu merupakan tanda yang baik bagi tapak sebuah kesultanan besar yang akan tumbuh kemudian. Dan, memang dari situlah sinar gemala tamadun itu mulai memancarkan sinar gemilangnya.

Perihal Riau Lama itu terekam juga dalam pantun pusaka yang dikenal luas oleh masyarakat. Demikianlah pantun itu memberikan informasi tentang keberadaan bandar yang mula-mula dibangun, Riau Lama, yang terdapat di kawasan Tanjungpinang. Pantun itu pun menjadi bukti aktivitas bersastra memang menjadi kebiasaan hidup sehari-hari orang Melayu Kepulauan Riau, khasnya Tanjungpinang, sehingga sebagian besar peristiwa yang terjadi di kawasan ini terekam dalam karya sastra. Sastra telah menjadi roh kehidupan masyarakat.

Tanjungpinang parit pemutus
Di situ tempat Riau Lama
Kasih sayang janganlah putus
Kalau dapat biarlah lama

Setelah lebih kurang sepuluh tahun di Sungai Carang, Hulu Riau, pada 1683 Sultan Ibrahim memindahkan kembali pusat kerajaan ke Johor. Dalam pada itu, empat tahun kemudian misi Belanda di bawah pimpinan William Velentyn berkunjung ke Riau Lama pada 2 Mei 1687. Setelah lebih kurang empat belas tahun dibangun, mereka mendapati pusat Riau Lama itu berkembang menjadi bandar perdagangan yang sangat maju dan ramai. Orang-orang dari pelbagai penjuru dunia datang ke sana dan mereka terkagum-kagum akan kepiawaian orang Riau-Johor dalam mengelola pelabuhan, laut, dan perdagangan. Pada 1709 Sultan Johor-Riau Abdul Jalil Riayat Syah memindahkan kembali pusat kerajaan ke Sungai Carang, Hulu Riau, dalam suatu perpindahan besar-besaran.

Lebih kurang seratus tahun berikutnya sejak dibangunkan Sungai Carang sebagai pusat pemerintahan, tepatnya pada 1778, Raja Haji sebagai Yang Dipertuan Muda IV Kerajaan Riau-Johor mendirikan kota lagi di Pulau Biram Dewa yang terletak di seberang Sungai Riau. Kota baru itu dijadikan tempat kedudukan Yang Dipertuan Muda. Kota yang baru itu dikenal juga dengan nama Kota Baru atau Kota Piring.
Berikut ini penuturan Raja Ali Haji di dalam karyanya Tuhfat al-Nafis tentang peristiwa bersejarah itu.

“Maka Yang Dipertuan Muda pun berbuatlah istana di Pulau Biram Dewa serta dengan kotanya yang indah-indah, yaitu kota batu bertatah dengan pinggan dan piring sangatlah indahnya, dan satu pula balai dengan dindingnya cermin, adalah tiang kaki balai itu bersalut dengan kaki pahar tembaga dan kota itu sebelah atasnya berkisi-kisikan buncung, adapun kota itu apabila kena matahari memancarlah cahayanya.”

“Kemudian diperbuatnya satu istana pula di Sungai Galang Besar sangat juga indah-indah perbuatannya, iaitu istana paduka anakanda Baginda Sultan Mahmud. Dan perhiasan istana Yang Dipertuan Besar dan Yang Dipertuan Muda itu daripada emas dan perak hingga rantai-rantai setelobnya dengan rantai perak jua dan seperti talam dan ceper kebanyakan diperbuat di Negeri Cina dan seperti tepak dan baling air mawar daripada emas dan perak diperbuat di Negeri Benila yang berkarang bertatahkan intan dan yang berserodi. Dan adapun pinggan mangkuk dan cawan kahwa dan cawan kebanyakan diperbuat di Negeri Cina serta tersurat dengan air emas pada pantat cawan itu tersebut) nama Pulau Biram Dewa atau Malim Dewa (Matheson Hooker, 1991:380—388).

Kota yang dibangun oleh Raja Haji Fisabilillah sebagai tempat kedudukan beliau sebagai Yang Dipertuan Muda IV Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang itulah yang dikenal sebagai Kota Piring. Disebut demikian karena pagar tembok istananya terbuat dari pinggan dan piring yang sangat indah. Dalam pada itu, istana Sultan Mahmud Riayat Syah dibangun di Kota Lama. Dengan mencermati perian (deskripsi) Raja Ali Haji tentang betapa megahnya istana-istana yang yang dibangun itu, tahulah pula kita betapa makmurnya Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang kala itu.
Pada 1778 perdagangan di Kerajaan Riau-Johor memang semakin maju pesat.

Dengan sendirinya, rakyat hidup sejahtera dan negara menjadi makmur. Aktivitas kehidupan beragama Islam berkembang dengan subur. Rakyat dan pemerintah betul-betul mengejar kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat seperti yang diajarkan oleh syariat Rasulullah s.a.w. Keperluan hidup di dunia dipenuhi dan pada saat yang sama bekal untuk kehidupan akhirat terus ditambah dari hari ke hari.

Setahun kemudian, 1779, lahirlah putra Raja Haji yang diberi nama Raja Ahmad ibni Raja Haji. Putra Yang Dipertuan Muda IV ini nanti memainkan peran yang sangat penting bagi perkembangan tradisi intelektual dan kepengarangan di Kerajaan Riau-Lingga. Berawal dari beliau, dunia kepengarangan di kawasan ini tumbuh merecup dengan subur dan sangat membanggakan kita hingga hari ini.

Selain Raja Ahmad dan putra-putrinya yang lain, Raja Haji, yang setelah wafat karena perjuangannya yang heroik menentang penjajah mendapat gelar Fisabilillah, memiliki seorang putri yang diberi nama Raja Hamidah. Perempuan yang bukan perempuan biasa itu kemudian biasa disapa Engku Puteri Raja Hamidah. Setelah sampai jodohnya, beliau disunting oleh Sultan Mahmud Marhum Besar atau Marhum Mesjid, Yang Dipertuan Besar Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang (1761—1812). Emas kawinnya tak tanggung-tanggung, sebuah pulau kecil di depan Tanjungpinang, yang kelak menjadi pusat pembinaan dan pengembangan tamadun Melayu, yang seri kegemilangannya memancarkan cahaya sampai jauh, ke sekutah-kutah nusantara.
Itulah keistimewaan Pulau Pengengat Inderasakti, Pulau Emas Kawin, untuk Engku Puteri Raja Hamidah ibni Raja Haji Fisabilillah dari suaminya Sultan Mahmud.
Selain itu, Engku Puteri juga dianugerahi jabatan sebagai pemegang regalia oleh suaminya yang sultan itu. Regalia adalah seperangkat alat kebesaran Kesultanan Riau-Johor yaitu alat yang menjadi simbol kebesaran adat-istiadat Melayu, termasuk peralatan kebesaran yang menentukan sah-tidaknya penabalan seseorang sultan.

Itulah anugerah sekaligus amanah yang dititipkan oleh suaminya kepada Raja Hamidah, istrinya tercinta. Dan, beliau dengan anggun lagi setia memegang dan menjalankan amanah itu dengan segenap jiwa-raganya, bagai menatang minyak yang penuh, demi menjunjung marwah bangsanya.

Demikianlah pada 1803 Pulau Penyengat Inderasakti mulai dibuka untuk tempat kediaman Engku Puteri Raja Hamidah. Dua tahun kemudian, pada 1805, Raja Ja’far ibni Raja Haji Fisabilillah, saudara kandung Raja Hamidah, ditabalkan menjadi Yang Dipertuan Muda VI Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang. Oleh beliau, sejak itu pusat pemerintahan Yang Dipertuan Muda dipindahkan dari Kota Piring, Pulau Biram Dewa, ke Pulau Penyengat Inderasakti. Di pulau kecil tetapi ternama itulah sampai seterusnya pentadbiran Kesultanan Melayu di bawah kuasa Yang Dipertuan Muda diselenggarakan.

Di pulau itu pula para cendekiawan Kesultanan Riau-Lingga “mendirikan” taman para penulis untuk memelihara warisan yang agung. Dan, dari pulau itulah sinar gemala mestika alam memancarkan cahayanya ke relung-relung hati yang tidak buta untuk membangunkan dan mengembangkan tamadun Melayu-Islam yang terala (luhur) lagi ranggi.

Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Dengan peristiwa Perjanjian London (The Treaty of London atau Traktaat London), 1824, Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang dipisahkan menjadi dua bagian oleh kuasa kolonial Belanda dan Inggris. Kawasan Riau-Lingga (kawasan Indonesia sekarang) berada di bawah pengawasan Belanda, sedangkan Johor, Singapura, Pahang, dan Trengganu (kawasan Malaysia sekarang) berada di bawah penjagaan Inggris. Sejak itu pula terpisahlah bangsa Melayu yang mulanya berada di bawah satu payung panji Kesultanan Melayu yang besar dan jaya ke dalam dua negara yang berbeda, bahkan tiga negara setelah Singapura memisahkan diri dari Malaysia pada 9 Agustus 1965.

Hari-hari setelah Perjanjian London itu harus dijalani oleh bangsa yang secara genealogis dan sosio-kultural itu sesungguhnya bersaudara dengan sampan sejarah yang berbeda walau taman tempat bercengkeramanya tetaplah sama: Selat Melaka dan Laut Cina Selatan yang melegenda itu. Tatkala nafsu politik dan ekonomi terus dan terus berupaya untuk memecahkan keutuhan sesama manusia dan kemanusiaannya demi memuliakan dwitunggal sesembahan baru yang bernama “laba-kuasa”, alam jualah—dalam hal ini laut—tak pernah sampai hati memutus tali persaudaraan orang-orang yang bersaudara. Laksana hamba yang perkasa lagi setia, Selat Melaka dan Laut Cina Selatan dari dahulu sampai sekarang tetap mengokohkan persebatian puak yang bertalian darah yang hidup di sekitarnya. Kalau berani diakui, kearifan alam justeru jauh lebih memukau, lebih berdelau, daripada kecerdasan manusia, yang bahkan konon mengaku paling beradab sekalipun.

Dan, Sungai Carang telah menunaikan baktinya yang sempurna dalam menjulangkan anak manusia yang sungguh-sungguh berjuang dengan ikhlas demi marwah bangsa.***

http://festivalsungaicarang.com/sungai-carang-tapak-tuah-dan-marwah/