JAMBI – Rombongan Benchmarking Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) di Universitas Jambi mendapat kesan tersendiri. Dimana rombongan Kampus UMRAH di hari ke-2 berkesempatan untuk mengunjungi situs bersejarah yang diduga sebagai situs peninggalan Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Melayu yakni Candi Kedaton Muaro Jambi. Selasa (27/12/2022).
Rombongan Kampus UMRAH dalam kunjungan lapangan itu didampingi langsung oleh salah seorang Tim PUI-PT Integrated Ceative Tourism (ICT) UNJA sekaligus Ketua Program Studi Arkeologi FKIP Universitas Jambi, Asyhadi Mufsi Sadzali, S.S, M.A. Seraya mendampingi rombongan Kampus UMRAH, Asyhadi turut menjadi narasumber di lapangan.
Menurut Asyhadi, Candi Kedaton tersebut merupakan candi terluas di Asia Tenggara dengan luas hampir 4.000 hektar atau sekitar 3.981 hektar versi buddhazine.com.
Dijelaskan oleh Asyhadi Mufsi bahwa Candi Kedaton merupakan Candi yang dibangun dengan menggunakan batu bata merah yang memiliki kualitas sangat bagus. Karena proses riset lanjutan masih berjalan, secara pasti dirinya belum dapat memastikan darimana sumber bahan dasar batu bata tersebut didapat pada zaman itu dalam membangun Candi Kedaton.
Dikutip dari laman https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/dpk/candi-kedaton/ bahwa kelompok Candi Kedaton dibatasi tembok pagar keliling yang berukuran 200 x 230 meter membujur arah utaraselatan. Di sisi utara tembok pagar keliling terdapat runtuhan gerbang pintu masuk halaman kelompok candi. Sebagaimana halnya kelompok Candi Gumpung dan Candi Tinggi, halaman kelompok Candi Kedaton dibagi dalam beberapa ruang. Antara ruang yang satu dengan ruang yang lain dibatasi tembok bata. Tembok-tembok penyekat itu membagi halaman candi menjadi sembilan ruang. Di dalam halaman yang terpisah-pisah ini terdapat sekurang-kurangnya 10 buah runtuhan bangunan, yaitu bangunan induk, bangunan maṇḍapa, gerbang, dan bangunan perwara yang ukurannya lebih kecil. Bangunan induk dan bangunan maṇḍapa terletak di halaman tengah agak ke selatan.
Lebih lanjut laman Direktorat Pelindungan Kebudayaan itu menjelaskan bangunan induk Candi Kedaton letaknya agak ke arah selatan dan merupakan bangunan yang terbesar dari seluruh bangunan candi yang ada di Kompleks Candi Muara Jambi. Bangunan strukturnya mirip dengan struktur Candi Gumpung, hanya dalam ukuran yang lebih besar. Penampil terletak di sisi utara, tetapi tidak ditemukan tangga, Bagian yang masih tersisa adalah bagian kaki bangunan. Bagian kaki bangunan ini dibagi dalam beberapa ruang. Ruang yang terbesar berukuran 16,25 x 16,25 meter dengan tinggi 7,20 meter, yang diisi dengan batu kerakal. Adapun fungsi batu isian ini belum diketahui. Mungkin berkaitan dengan konstruksi bangunan agar tidak mudah runtuh.
Di area Candi Kedaton terdapat juga sebuah sumur tua yang menurut kisah usianya sama tua dengan Candi tersebut. Bagi pengunjung yang berkesempatan masuk ke area Candi Kedaton tidak akan menyianyiakan kesempatannya untuk mencicipi kesegaran air yang bersumber dari sumur itu.
Kepada rombongan benchmarking MBKM kampus UMRAH, Asyhadi (arkeolog UNJA) yang akrab dipanggil Didi itu menjelaskan bahwa Candi Kedaton Muaro Jambi tersebut merupakan bekas Pusat Pembelajaran terbesar di Asia pada abad ke-7 hingga 13. Dalam penjelasannya di Candi Kedaton itu sehari-hari diisi dengan aktivitas belajar.
Istimewanya lagi, menurutnya orang-orang dari berbagai penjuru dunia seperti India dan China datang di situs bersejarah itu. Jika mengadopsi istilah program MBKM saat ini di abad ke-7 hingga 13 Candi Kedaton saat itu selalu berdatangan siswa ataupun guru untuk belajar dan mengajar serupa dengan falsafah dari program MBKM saat ini.
Di Candi Kedaton itupula beberapa tokoh cendekia mendunia yang kemungkinan pendharmaannya di situs tersebut, diantaranya Maha Guru Sherlingpa Dharmakirti Swarnadwipa. Dalam penjelasannya Asyhadi merujuk kepada Catatan Perjalanan It Sing yang kemudian diterjemahkan oleh Takakusu (1896) kedalam bahasa inggris berjudul A Record of Buddhist Practices Sent Home from the Shouthern Sea.
Tokoh selanjutnya menurut Asyhadi adalah Atisa Dipamkara Shrijnana, merupakan murid dari Dharmakirti Swarnadwipa yang belajar di Muaro Jambi antara tahun 1011 sampai 1023 M. Kisah itu diungkapkan oleh Tansen Sen (2014) dalam buku Buddhisme Across Asia: Networks of Material, Intellectual, and Cultural Exchange. Dikuatkan juga dengan berita Portugis berjudul Suma Orienta yang ditulis oleh Tome Pires saat lawatannya ke Wilayah Sumatera pada tahun 1512 M dengan mengulang sedikit cerita yang sama.
Presiden Joko Widodo dalam kunjungannya ke Candi Kedaton Muaro Jambi mengatakan bahwa kawasan bersejarah Muaro Jambi memiliki jejak-jejak peradaban yang harus terus dilestarikan. Kamis (7/4/2022) yang lalu.
“Inilah sejarah yang perlu kita lestarikan agar jejak-jejak peradaban kita di bidang pendidikan utamanya juga diketahui,” ucap Presiden Jokowi, dikutip oleh buddhazine.com dalam Tulisan Deny Hermawan berjudul “Candi Kedaton Muaro Jambi, Tempat Meditasi Mpu Kusuma?”.
Masih bersumber dari tulisan Deny Hermawan (buddhazine.com: 25 Agustus 2022) Presiden Joko Widodo mengatakan candi yang terbentuk dari tumpukan batu bata itu berada di kawasan yang merupakan pusat pendidikan terbesar di Asia pada abad ke-7. Oleh karenanya, Jokowi menyebut peradaban Indonesia pada saat itu sudah dikenal luas.
“Bukan hanya yang berkaitan dengan teologi tetapi di kawasan cagar budaya Muaro Jambi ini juga dulunya juga menjadi pusat pendidikan bagi kedokteran dan obat-obatan, kemudian filsafat, kemudian arsitektur dan seni, dan yang lain-lainnya,” ucap Presiden RI ke-7 itu dalam tulisan Deny Hermawan pada laman buddhazine.com.
(Rendi/Humas UMRAH)