Abdul Malik, “Keindahan Melayu”

You are currently viewing Abdul Malik, “Keindahan Melayu”
Drs. Abdul Malik, M.Pd

SIAPAKAH orang Melayu? Menurut Encyclopaedia Britannica (Micropaedia, 1985:727), orang Melayu adalah “ethnic group of the Malay Peninsula and part of adjacent island of Southeast Asia, including the east coast of Sumatera, the coast of Borneo, and smaller islands between areas.” (Satu kelompok etnis di Semenanjung Malaya dan sebagian pulau-pulau yang berdekatan di Asia Tenggara, termasuk pesisir timur Sumatera, pesisir Kalimantan, dan pulau-pulau yang lebih kecil di antara kawasan itu).

Berdasarkan batasan di atas, kelompok etnis Melayu di Indonesia mendiami kawasan yang terentang dari Temiang di sebelah selatan Aceh, beberapa bagian Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Jambi dan Kalimantan Barat. Beberapa pakar sosial-budaya, bahkan, membuat batasan yang jauh lebih lebih daripada itu. Kalau bahasa yang dijadikan acuan, persebaran itu akan mencapai sebagian besar Sumatera, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi, dan Maluku. Kawasan itulah yang disebut sebagai kawasan kebudayaan pesisir dengan ciri khas utamanya berupa kepercayaan dan kelembagaan Islam serta berorientasi ke arah aktivitas pasar (lihat juga Geertz, 1981:43). Di Malaysia Melayu didefinisikan secara lebih luas lagi yaitu bangsa yang (1) berbahasa Melayu, (2) beradat-istiadat Melayu (dalam arti luas), dan (3) beragama Islam.

Sebagaimana bangsa mana pun di dunia ini, orang Melayu memiliki konsep tentang keindahan. Salah satu karya sastra lama Melayu, Hikayat Dewa Mandu, menggambarkan perihal “cantik” sebagai bagian dari konsep keindahan itu. Dalam hal ini, diperikan keindahan yang berkaitan dengan rupa manusia.

“Setelah Dewa Mandu mendengar kata Puteri Lela Ratna Kumala demikian itu maka Baginda pun tersenyum seraya membaca suatu isim Allah, lalu ditiupnya kepala gajah putih itu tiga kali. Maka dirasai oleh Tuan Puteri itu sejuklah segala anggotanya, seketika ia pun kembalilah seperti sediakala menjadi manusia. Setelah dilihat oleh Dewa Mandu akan rupa Tuan Puteri itu maka ia pun pingsanlah seketika. Lalu Tuan Puteri itu pun meniup kepala Dewa Mandu. Maka Dewa Mandu pun sadarlah akan dirinya, lalu ia mengucap seraya memuji Tuhan seru sekalian alam katanya, ‘Salangkan hamba-Nya yang dijadikan-Nya lagi sekian [cantiknya, AM], jikalau yang menjadikan berapa lagi.’ Makin bertambah-tambahlah tauhid dan tasdiknya akan Tuhan Malik al-Manan. (Chambert-Loir, 1980:109)

“Petikan di atas menggambarkan aspek ontologis konsep estetika Melayu. Konsep itu dengan jelas memaduserasikan antara keindahan duniawi atau lahiriyah dan keindahan ilahiyah dengan membandingkan kecantikan Puteri Lela Ratna Kumala dengan Kemahaindahan Tuhan. Konsep itu pun dinyatakan dengan sangat indah oleh penyair Amir Hamzah sebagai “rupa Mahasempurna” dalam salah satu sajaknya.

Kecantikan duniawi (lahiriyah) sebagai tertera dalam Hikayat Dewa Mandu yang dipetik di atas, baru akan dapat mencapai derajat kesempurnaan apabila merupakan gabungan dari “seri gunung” dan “seri pantai” yang juga diterangkan sebagai “beaut’e vue de loint et beaute vue de pres.” (Chambert-Loir, 1980:332).

Kesepaduan antara seri gunung dan seri pantai atau kecantikan yang terlihat dari jauh dan kecantikan yang terlihat dari dekat itulah yang dinamakan oleh pengarang lama Melayu, Ahmad Rijaluddin, sebagai “sadu perdana” dan bernilai “tujuh laksana,” (C. Skinner, 1982:96). Kecantikan yang terlihat dari dekat juga berkias pada keindahan lahiriyah dan duniawi, sedangkan kecantikan yang terlihat dari jauh berhakikat pada keindahan batiniyah dan ukhrawi. Sosok idealnya menjelma dalam diri bidadari Sakerba yang dikisahkan dalam salah satu karya sastra lama Melayu yang piawai Syair Ken Tambuhan: keindahan atau kecantikan yang sanggup menghidupkan kembali pasangan pecinta yang sudah mati.

Di dalam Hikayat Hang Tuah salah seorang tokoh yang terus memesona karena diabadikan oleh penulis karya itu ialah Tun Teja. Sejarah Melayu (Sulalat as-Salatin) karya Tun Sri Lanang mengisahkannya dengan pantun ini: //Tun Teja ratna Benggala/pandai membelah lada sulah//jikalau Tuan kurang percaya/mari bersumpah Kalamullah// (Shellebear, 1903:267).

Raja Ali Haji, di dalam karya kamus monolingual sulung (pertama) Melayu dan Indonesia yaitu Kitab Pengetahuan Bahasa (1858) menakrifkan “cantik” sebagai ‘sesuatu sifat sama-ada pada manusia atau lainnya yang memberi indah kepada mata yang tiada cacat pada pemandangan manusia’ (Raja Ali Haji, 1986:325).

Takrif (definisi) tentang molek, cantik, indah, dan elok sebagai lawan dari kata (b)odoh dapat dirujuk sebagai ‘sifat yang indah pada pemandangan mata atau pada tilik hati yang memberi indah pada pemandangan keduanya itu’ dan ‘memberi indah pada pemandangan mata atau kepada hati’.

Suatu karya tari, misalnya, baru mencapai derajat keindahan apabila sasaran takrifnya sampai, yaitu ‘pekerjaan seseorang dengan kesukaan maka menggerakkan tangannya atau kakinya dengan bertimbang dan beratur yang menjadi indah pada pemandangan adanya’. Tari yang sadu perdana dan bernilai tujuh laksana sebagaimana disebut–sebut orang Melayu ialah yang “kakinya tak jejak ke lantai”.

Demikian pula dengan takrif nyanyi yaitu ‘mengeluarkan suara serta huruf dan serta dengan lagunya dengan had timbangannya’ (ibid.:292). Dan, nyanyian yang sadu perdana dan bernilai tujuh laksana sebagaimana disebut orang Melayu dengan ungkapan suaranya bagai “buluh perindu”.

Jadi, suatu karya seni menurut konsep keindahan Melayu yang sadu perdana dan tujuh laksana atau yang kelas satu dan tujuh bintangnya hendaklah bersifat seri gunung dan seri pantai yaitu molek dilihat dari jauh dan molek pula dilihat dari dekat serta elok pada pandangan mata dan elok pula pada tilikan hati. Konsep ini padan dan patut jika disandingkan dengan pendapat Benaventura yang menilai keindahan lukisan dengan mengatakan bahwa suatu karya seni disebut indah apabila, pertama, dibuat dengan baik dan, kedua, mempunyai makna ( Sedlmayr, 1959:128).

Bagaimanakah halnya dengan keindahan perilaku? Lagi-lagi, kita dapat merujuk karya Raja Ali Haji. Kali ini kita mengacu kepada karya agung Gurindam Dua Belas (1847). Pada pasal kelima, bait tiga disebutkan, “Jika hendak mengenal orang mulia, lihatlah kepada kelakuan dia.” Seri gunung dan seri pantai itu terletak pada kelakuan atau perilaku manusia. Hal itu diungkapkan dengan tegas pada pasal yang sama bait satu Gurindam Dua Belas, “Jika hendak mengenal orang berbangsa, lihatlah kepada budi bahasa.”

Hal itu berarti perilaku yang ideal itu berkaitan dengan kehalusan atau ketinggian budi pekerti dan kesantunan bahasa. Perilaku yang mencerminkan budi pekerti yang halus dan bahasa yang santun itu membawa keutamaan kepada manusia yang memilikinya. Manusia dengan kualitas itu juga, seperti dijelaskan oleh bait-bait yang lain pada pasal yang sama, tak mengerjakan hal-hal yang sia-sia (tak berfaedah), suka dan terus menuntut ilmu sebagai bekal untuk hidup di dunia dan di akhirat, serta pantai bergaul di dalam masyarakat. Manusia dengan perilaku seperti itulah yang bernilai “sadu perdana” karena ketinggian dan kehalusan budi pekertinya.

Manusia dengan kualitas itulah yang memperoleh keindahan kemanusiaannya. Dia tak pernah sampai hati untuk merusak citra kemanusiaannya dengan perbuatan tak berbudi dan tak terpuji, apa pun alasannya. Dia patutlah disebut sebagai manusia utama. Dialah yang berhak atas penghargaan “tujuh bintang” kemanusiaan. Takkah itu sangat indah?***