Abdul Malik, ‘Kearifan Sultan Mahmud Syah III”

You are currently viewing Abdul Malik, ‘Kearifan Sultan Mahmud Syah III”

SULTAN MAHMUD SYAH III merupakan Sultan Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang yang paling lama memerintah. Baginda telah ditabalkan menjadi sultan ketika masih kanak-kanak lagi yaitu semasa berusia lebih kurang empat tahun. Selama 51 tahun kekuasaannya (1761—1812) Baginda didampingi oleh empat orang Yang Dipertuan Muda (YDM) yakni secara berturut-turut YDM Daeng Kamboja, YDM Raja Haji Fisabilillah, YDM Raja Ali, dan YDM Raja Jaafar. Dalam masa kepemimpinannya itu banyak kebijakan dibuatnya yang menunjukkan bahwa Baginda adalah pemimpin yang agung, kaya siasat, arif, dan sangat mencintai rakyat dan tanah airnya.

Satu di antara siasat raja-raja Melayu, khasnya Dinasti Raja-Raja Riau-Linga-Johor-Pahang, untuk mempertahankan kedaulatan negara ialah dengan memindahkan pusat pemerintahan dari suatu tempat ke tempat lain di wilayah kekuasaannya jika diserang musuh. Di bawah pentadbiran Sultan Mahmud Syah III pusat pemerintahan Kerajaan Riau-Johor paling lama berpusat di Kepulauan Riau yaitu sejak Baginda naik tahta sampai setelah Baginda mangkat. Perpindahan pusat pemerintahan hanya dilakukan Baginda dari Riau Lama di Pulau Bintan (kawasan Kota Tanjungpinang sekarang) ke Daik-Lingga (kawasan Kabupaten Lingga sekarang). Sebelum itu perpindahan senantiasa dilakukan antara kawasan Kepulauan Riau dan kawasan Johor (kerajaan negeri di Malaysia sekarang) secara berbolak-balik.

Bertahannya Kepulauan Riau, lebih khusus lagi Daik-Lingga, sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Riau-Johor dalam waktu yang begitu lama membuktikan kepiawaian Sultan Mahmud Syah III dalam mentadbir (menyelenggarakan) pemerintahan. Dengan demikian, Baginda berjaya menjadikan Kepulauan Riau sebagai tempat yang aman bagi pusat pemerintahan negara. Padahal, para penceroboh, baik Barat maupun Timur, terus saja mengintai dari luar untuk menaklukkan Kerajaan Riau-Johor karena Kerajaan Melayu itu memang termasyhur memiliki kekayaan yang berlimpah ruah dan posisinya sangat strategis.

Kisah kawasan Kerajaan Riau-Lingga menjadi perburuan para “lanun karun dunia” telah terjadi sejak dahulu karena kelimpahan yang dianugerahkan Allah swt. bagi wilayah ini. Hanya karena daulat dan kepemimpinan yang kuat dari para pemimpinnyalah yang memungkinkan kemerdekaan kawasan ini dapat dipertahankan dan kekayaannya dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyatnya secara merata. Itulah sebabnya, di kalangan rakyat terkenallah pantun yang bernada dan bertemakan patriotisme berikut ini.

Besar ulat di daun kayu

            Anak Belanda main teropong

            Besar daulat Raja Melayu

            Kapal ditarik dengan jongkong   

Banyaknya cabaran dan percobaan untuk menaklukkan Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang tentulah mengharuskan Sultan Mahmud Syah III dan para pembesarnya, terutama Raja Mudanya (YDM), harus melakukan siasat politik yang luar biasa agar kawasan negaranya tetap aman. Di antara kebijakan yang harus diambil ialah memerangi musuh. Terkenallah perang yang dilakukan oleh Raja Haji Fisabilillah terhadap Kompeni Belanda, bahkan di sarang musuh itu yakni di Teluk Ketapang, Melaka. Sultan Mahmud Syah III, walaupun Baginda sebagai pemimpin tertinggi negara, ikut serta di dalam perang itu karena Baginda khawatir akan keselamatan Raja Haji dan para prajuritnya. Hanya atas saran  Raja Haji pulalah Baginda kembali bertahan ke Muar (kawasan Negeri Johor, Malaysia sekarang). Bukankah akan lebih buruk akibatnya bagi negara seandainya kedua pimpinan puncak negara itu gugur di medan perang sehingga kerajaan tak lagi memiliki pemimpin? Apa lagi, Sang Sultan masih sangat muda usianya. Takdir Allah swt. Raja Haji syahid dengan gagah berani di dalam pertempuran itu sehingga Sultan Mahmud Syah III, walau dengan duka-cita yang amat dalam, memilih segera kembali ke pusat kerajaannya untuk mengantisipasi kemungkinan yang akan terjadi kemudian. Kedaulatan negara dan bangsa harus dipertahankan.

Sultan Mahmud Syah III sekali lagi mempermalukan Kompeni Belanda. Kala itu Kompeni Belanda menempatkan wakilnya Abran Rudi di Tanjungpinang. Raja Ali Haji (RAH) menuturkan bahwa orangnya berperangai kasar, memerintah dengan keras, bahkan sebagai mitra bisnis, wakil kompeni itu cenderung menjarah. Lagi pula, perjanjian yang dibuat oleh kompeni Belanda cenderung merugikan Kerajaan Riau-Johor. Sultan Mahmud Syah III sangat tak berkenan akan perangai wakil kompeni Belanda itu.

Sultan Mahmud Syah III secara diam-diam mengirim utusannya, Encik Talib, ke Tempasuk (di Kota Belud, Sabah). Baginda minta bantuan Raja Tempasuk memerangi Belanda di Riau-Lingga. Di Tempasuk ada Raja Ismail asal Johor, kerabat Kerajaan Riau-Lingga. Raja Tempasuk mengirim tiga anaknya: Raja Tebuk, Raja Alam dan istrinya Raja Aisyah, dan Raja Muda Umak. Diutus juga Datuk Sikolo. Raja Ismail menjadi panglima besarnya. Mereka menggempur dan menghabisi satu garnizun Belanda di Tanjungpinang. Peristiwa yang terjadi pada 1215 H. itu menyebabkan  orang Belanda yang masih hidup harus lari tunggang-langgang dan menyelamatkan diri ke Melaka dengan pakaian yang hanya sehelai sepinggang. RAH berkabar di dalam Tuhfat al-Nafis dengan nada yang amat jarang digunakannya, kecuali terhadap musuh, “Seekor  [perhatikan kata ini] Holanda pun tiada lagi tinggal dalam Negeri Riau.”

Sultan Mahmud Syah III sangat hafal akan tabiat Belanda. Tentulah mereka tak akan tinggal diam diperlakukan demikian. Karena khawatir akan keselamatan negara dan rakyatnya, Baginda, kemudian, memindahkan pusat pemerintahan dari Riau Lama di Pulau Bintan ke Daik-Lingga. Tentulah Baginda merancang pertahanan di Lingga jika ternyata Belanda datang menyerang. Hampir seluruh rakyat dibawanya serta, selain ada juga yang berpencar ke Pahang dan Trengganu di Semenanjung, yang pada masa itu termasuk wilayah Kerajaan Riau-Johor. Ternyata, Belanda memang datang kembali ke Tanjungpinang untuk menyerang, tetapi mereka tak bernyali untuk mengejar Sultan Mahmud Syah III ke Lingga.

Kompeni Belanda lagi-lagi kehabisan akal menghadapi Sultan Mahmud Syah III. Ketika mereka beranggapan bahwa merekalah mitra bisnis tunggal di Kerajaan Riau-Johor, ternyata Sultan Mahmud Syah III menggandeng mitra bisnis baru Inggris dan tak melibatkan Belanda. Agaknya, dengan siasat itu Baginda berkata dalam hati, “Jangan kalian pikir hanya kalian yang boleh melaga kami. Kami pun dapat menghantukkan kalian!” Baginda membuka pertambangan timah di Singkep bekerja sama dengan Inggris, bukan dengan Belanda. Dengan dibukanya pertambangan timah di Singkep, perekonomian Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang menjadi meningkat kembali. Jadi, Sultan Mahmud Syah III merupakan pengasas pertambangan timah di kerajaannya, khususnya di Singkep.

Cahaya kearifan Sultan Mahmud Syah III tak hanya dalam menghadapi musuh dan teman dari luar. Dengan kebijakan dan kearifannya, Baginda sangat dicintai oleh para YDM dan pembesar yang membantu pemerintahannya. Pun Baginda sangat menyayangi dan disayangi serta dihormati oleh seluruh rakyatnya.

Dengan arif Baginda dapat mendamaikan perseteruan antara Engku Muda dan YDM Raja Ali. Kedua pembesarnya yang masih bersaudara itu disadarkannya bahwa pertelingkahan sesama sendiri bukannya membawa berkat, melainkan lebih banyak mudaratnya. Alhasil, kedua orang penting kerajaan yang cukup lama bermusuhan itu dapat kembali berdamai. Tentulah tak mudah untuk merukunkan kedua orang yang memiliki kekuasaan dan masing-masing memunyai pengikut yang banyak. Akan tetapi, daulat kepemimpinan seorang sultan yang bijaksana mampu meredam pertikaian di dalam negeri sehingga keselamatan negara dapat dikawal dengan baik.

Tatkala Baginda mengamanahkan pengawalan regalia, lambang adat-istiadat, kekuasaan, marwah, dan keagungan Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang kepada Engku Puteri Raja Hamidah, istri Baginda, cahaya kearifan itu terlihat semakin terang bersinar. Amanah pengawalan tradisi kepada perempuan perkasa itu merupakan simbol pelbagai kearifan yang menandakan kecanggihan minda dan ketinggian budinya sebagai pemimpin yang agung sehingga namanya abadi terbilang. Dengan segala kebijakan dan kearifannya yang luar biasa dalam membangun dan mempertahankan negara dan marwah bangsanya, Sultan Mahmud Syah III telah mendarmabaktikan seluruh masa hidupnya sebagai pahlawan sejati.***

 

dimuat juga Batam Pos, Ahad, 2 September 2012